Urbannews | Trodon tidak menulis lagu seperti kebanyakan band pada umumnya. Mereka membangun ruang dengar — ruang di mana setiap nada punya fungsi dramatik, bukan sekadar melodi yang enak. Musik mereka lebih menyerupai arsitektur bunyi: disusun, ditata, dan dirancang agar setiap lapisan punya bobot emosional. Pendengar yang teliti akan menemukan bahwa di balik kekuatan teknikalitasnya, Trodon menanamkan rasa dan atmosfer yang sangat manusiawi.
Struktur dan Ritme: Antara Kalkulasi dan Kepekaan
Dalam banyak komposisi, Trodon menolak bentuk lagu standar verse-chorus. Mereka lebih memilih pendekatan naratif progresif — di mana musik berkembang melalui tema dan transformasi. Misalnya, mereka sering memulai dengan pola gitar bersih yang repetitif, lalu membangun tensi lewat perubahan ritme atau modulasi tak terduga, sebelum mencapai klimaks harmonik yang kompleks. Ritme mereka tidak selalu linear. Ada syncopation, polyrhythm, dan odd time signature (5/4, 7/8, 9/8) yang membuat komposisi terasa seperti puzzle yang bergerak.
Namun, meski struktur matematis terasa kuat, Trodon tidak kehilangan sisi emosionalnya. Setiap perubahan ketukan bukan untuk pamer teknik, tapi untuk memperkuat dinamika rasa — antara ketegangan dan kelegaan, antara ledakan dan hening.
Gitar: Melodi sebagai Narasi
Gitar dalam Trodon adalah penutur utama. Ia tidak hanya menjadi instrumen, tapi menjadi “suara” yang menggantikan peran vokal. Gaya permainan gitar mereka menekankan keseimbangan antara teknikalitas dan storytelling. Kadang melodi lembutnya meluncur seperti gumam introspektif, kadang berderak dengan distorsi tebal dan harmoni berlapis. Di tangan Trodon, gitar bukan sekadar alat — ia menjadi “karakter” dalam cerita musikal yang sedang berlangsung.
Dinamika ini mengingatkan pada pendekatan David Gilmour (Pink Floyd) dalam hal ekspresi rasa, tapi dengan kompleksitas phrasing yang mendekati John Petrucci (Dream Theater). Namun tetap ada nuansa khas Indonesia yang muncul — semacam kehangatan nada minor dan ornamentasi melodik yang terasa sangat lokal dan spiritual.
Bass: Tulang Punggung dan Jiwa Ritmik
Peran bass dalam musik Trodon tak bisa diremehkan. Alih-alih sekadar pengiring, bass menjadi elemen ritmik sekaligus melodik. Ada momen di mana permainan bass justru memimpin arah musik — menciptakan jembatan antarbagian, atau menjadi dasar transisi dinamis.
Tekstur bunyinya tebal dan hangat, sering kali menggunakan teknik slap, tapping, atau walking groove yang rumit namun organik. Di sinilah kekuatan Trodon terasa utuh: setiap instrumen punya kebebasan berbicara, tapi tetap saling mendengarkan.
Drum: Detak Jantung Eksperimen
Drum pada Trodon berfungsi sebagai navigator. Ia mengatur arah komposisi, memandu perubahan tempo, dan menjadi penentu mood. Tidak sekadar menghentak, permainan drumnya seringkali seperti percakapan antara logika dan intuisi. Kerap muncul break pattern yang tak terduga, perpindahan aksen yang tajam, namun semuanya terikat dalam satu garis emosional yang koheren.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa bagi Trodon, ritme bukan sekadar waktu — tapi juga ruang berpikir. Drum mereka tidak hanya menggerakkan tubuh pendengar, tapi juga menggerakkan kesadaran.
Keyboard/Piano: Lanskap Harmoni dan Tekstur Atmosferik
Keberadaan keyboard atau piano dalam musik Trodon berperan sebagai arsitek ruang emosional. Ia bukan sekadar pengisi harmoni, tetapi menjadi jembatan antara elemen ritmik dan melodik. Sentuhan piano elektrik atau pad sintetis yang mereka gunakan sering kali muncul dengan subtil — mengisi ruang di antara dentingan gitar dan gebukan drum — namun kehadirannya membentuk kedalaman atmosfer yang khas.
Dalam beberapa komposisi, akor-¬akor piano dibiarkan menggantung panjang, menciptakan gema harmonik yang menuntun pendengar menuju dimensi reflektif. Kadang, permainan keyboard mengambil bentuk motif minimalis berulang, menambah lapisan tekstur yang hipnotik dan meditatif.
Fungsi instrumen ini ibarat cahaya dalam arsitektur bunyi Trodon: tak selalu mencolok, tetapi menerangi keseluruhan ruang komposisi. Ia memperhalus transisi, memperluas warna tonal, dan menghadirkan nuansa ambient yang membuat musik Trodon terasa lebih sinematik dan spiritual.
Warna Bunyi dan Produksi: Antara Analog dan Dimensi Spasial
Secara produksi, Trodon tampak sadar betul akan pentingnya spatial sound. Mereka membangun ruang dengar tiga dimensi: gitar yang melayang di kiri-kanan, bass yang mengisi frekuensi tengah-bawah, drum yang terasa hidup di depan, dan ambience efek yang menambah kedalaman atmosfer. Pemilihan tone juga tidak asal. Distorsi mereka tidak agresif, melainkan halus dan berkarakter.
Ada kesan “organik” dalam setiap frekuensi — seolah musik ini masih bernapas seperti dimainkan langsung di ruangan, bukan hasil rekayasa digital belaka.
Pendekatan ini menempatkan Trodon di jalur yang jarang diambil musisi Indonesia masa kini:
Mengutamakan tekstur dan keseimbangan suara ketimbang volume dan kejutan.
Estetika dan Filosofi: Keheningan Sebagai Bagian dari Musik
Salah satu hal paling menarik dari Trodon adalah keberanian mereka menggunakan hening sebagai elemen musik. Mereka tidak takut membiarkan ruang kosong, jeda, atau diam yang panjang di antara nada. Dalam estetika mereka, hening bukan ketiadaan, melainkan tempat di mana pendengar bisa bernapas dan menafsirkan.
Filosofi ini berakar pada pemahaman bahwa musik progresif bukan tentang seberapa rumit dimainkan, tapi seberapa dalam ia dirasakan.
Dengan kata lain, Trodon tidak berusaha menguasai musik, tapi berdialog dengannya.
Bahasa Baru dari Generasi yang Mendengar Lebih Dalam
Dalam lanskap industri musik Indonesia yang sibuk memoles citra dan angka, Trodon tampil sebagai pengingat bahwa kejujuran masih punya tempat. Mereka bukan sekadar band progresif instrumental — mereka adalah cermin dari generasi musisi yang memilih berpihak pada proses, bukan pada hasil.
Gaya komposisi mereka menunjukkan kedewasaan berpikir, kepekaan terhadap detail, dan kesadaran artistik yang langka. Di tangan Trodon, progresif bukan lagi nostalgia terhadap masa lalu, melainkan evolusi alami dari musik Indonesia yang terus belajar berbicara dengan bahasanya sendiri.
Selama masih ada band seperti Trodon yang menjaga bara eksperimentasi ini, musik progresif Indonesia akan terus tumbuh — mungkin pelan, tapi pasti. Dan dalam setiap nada yang mereka mainkan, tersimpan satu pesan sederhana namun kuat: bahwa musik sejati bukan soal siapa yang didengar paling banyak, tapi siapa yang berani mendengarkan paling dalam.

 
																				


