Urbannews | Ada yang lebih nyaring dari dentum drum, ada yang lebih hangat dari lampu-lampu panggung yang menyinari wajah para penampil, atau, di antara tawa, langkah kaki, bahkan sorakan penonton, All U Can Hear Gigs Vol. 2 diharapkan hadir bukan hanya sebagai panggung musik alternatif—ia tumbuh menjadi ruang hidup: di mana nada dan rasa saling berpelukan dalam kebersamaan.
Tidak banyak acara musik yang sanggup menghadirkan harmoni seperti ini. Musik memang menggema, tapi aroma dari tenda-tenda UMKM yang bersetia di pinggiran area adalah denyut nadi yang membuat tempat ini terasa begitu hidup. Begitu nyata.
Ketika Musisi Turun ke Tanah
Bayangkan, sore menjelang malam, seorang gitaris band populer terlihat duduk di kursi depan gerobak toge goreng. Rambutnya basah keringat, baru turun panggung. Tapi senyumnya lebar, tangan kirinya memegang piring yang mengepulkan uap. “Gue manggung, mereka masak. Sama-sama berkarya,” ucapnya ringan pada penjual, yang langsung tersipu malu.
Para musisi di All U Can Hear Vol. 2 tak hanya datang untuk tampil. Diharapkan, Mereka hadir untuk menyatu. Di antara jeda soundcheck dan encore, mereka mencicipi tahu pedas, mencolek sambal, menyeruput kopi susu lokal yang baru dirintis sepasang suami-istri muda. Ada kebersahajaan dalam interaksi ini—di mana panggung bukan menara, tapi tanah yang sama-sama diinjak.
Romantisme yang Dihidangkan
Ada nuansa tertentu yang hanya bisa lahir dari gabungan musik live dan kuliner lokal. Sebuah romantisme rasa, jika boleh disebut begitu. Ketika nada membentuk latar, dan aroma kuliner menjadi narasi yang tak kalah menggugah. Ini bukan hanya tentang makanan—ini tentang cerita di baliknya.
Di salah satu sudut, seorang pengunjung tak bisa berhenti mengunyah nugget jamur buatan sendiri sambil mengangguk-angguk mengikuti irama. “Ini enak banget. Eh, tadi vokalis band punk itu story-in loh makanan ini,” katanya pada penjual, yang matanya berbinar bangga.
Dalam harmoni yang tak disengaja itu, All U Can Hear Gigs seolah menyampaikan pesan: bahwa panggung bisa menjadi lokomotif penggerak ekonomi kecil. Bahwa musik tak hanya untuk telinga, tapi juga bisa jadi corong bagi mereka yang berjuang lewat dapur, resep, dan bumbu-bumbu cinta.
Nada yang Terus Mengalun
Malam belum sepenuhnya larut ketika acara perlahan menepi. Lampu mulai redup, sound system dimatikan satu per satu. Tapi atmosfer itu belum benar-benar hilang. Masih ada orang yang duduk di tikar, menghabiskan sate usus. Masih ada gelak tawa di antara panitia dan pedagang yang berkemas.
Dan dari sinilah harapan itu tumbuh
All U Can Hear Gigs Vol. 2 menjadi penanda bahwa kolaborasi lintas dunia—antara seniman dan pelaku usaha kecil—bukan hanya mungkin, tapi juga mendesak untuk dilanjutkan. Karena ketika panggung memberi tempat bagi rasa lokal, acara tak hanya menjadi hiburan. Ia menjelma jadi ekosistem.
Semoga panggung-panggung mendatang nanti bukan hanya untuk lagu-lagu baru, tapi juga untuk cita rasa yang makin lekat di lidah dan di hati. Untuk itu, sisakanlah ruang bagi tenda kecil dan wajan panas, bagi tangan-tangan terampil yang memasak dengan jiwa. Karena musik yang sejati bukan hanya terdengar, tapi juga terasa.
Dan selama masih ada musisi yang mau mencicipi bakwan di pinggir panggung, selama masih ada pengunjung yang mengantre es kopi racikan tangan ibu-ibu lokal—kita tahu, gelombang ini akan terus mengalun.