Jakarta, UrbannewsID. | “Tutupkanlah semua pintu, matikanlah semua lampu kamar kurungku. Hatiku tetap tenang, karena ada sinar terang dari Tuhanku-“. Cuplikan dari lagu “Di Dalam Bui” yang ditulis saat Koes Bersaudara mendekam tiga bulan di penjara Glodok karena memainkan lagu band asal Liverpool, The Beatles yang berjudul “I Saw Her Standing There” dengan alasan bahwa musiknya dianggap mewakili aliran politik kapitalis. Tak pelak, kejadian ini mencatatkan mereka sebagai salah satu pelaku sejarah musik yang penting di Indonesia.
Ini hanya sekedar untuk menggambarkan industri musik Indonesia zaman dahulu, dimana politik memainkan peran yang cukup penting dalam perkembangan musik tanah air, khususnya pada era Sukarno yang melarang budaya yang berbau Barat hadir di Indonesia. Dia menganggap musik dari The Beatles dan lainnya bagaikan bunyi Ngak Ngik Ngok.
Skena musik alternatif di Indonesia telah berkembang dan terus berlanjut menjadi berbagai output, muncullah stoner rock yang memberikan industri musik Indonesia bersuara lebih dinamis. Meskipun hingga saat ini musik yang dikenal di Indonesia atau Indonesian Pop lebih menjual di media-media ternama.
Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten.
Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidupnya sebagai pionir untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya.
Kemudian disusul, El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta) yang mencatat mengharumkan namanya di pentas musik nasional era 80-2000an. Dan, band-band yang tertulis diatas mampu membawa pendengarnya menikmati menikmati musik mereka secara emosional.
Seiring berjalannya waktu, musik cadas tersebut seakan menghilang seiring dengan banyaknya genre pop, yaitu aliran musik yang bergaya simpel. Industri musik menciptakan sebuah nafsu yang besar untuk mengeksplorasi varian-varian baru serta genre-genre lain yang nyaris tanpa kompromi. Semua seolah menjadikan musik Indonesia semakin kaya dan ramai, inilah fenomena trend musik di Indonesia yang terjadi.
Bermunculannya trend-trend baru, tapi gairah musik rock tetap tidak pernah mati ditelan jaman baik di Indonesia maupun di manca negara, meskipun tidak bisa dipungkiri, saat ini trend musik Indonesia tidak mengarah kesana. Hal ini, dibuktikan oleh para pendekar musik rock lewat album kompilasi bertajuk “3 to Rock” berisikan 11 lagu yang dirilis di KFC Kemang, Jakarta, Jumat (29/4).
Walau, nama albumnya mengingatkan saya pada konser musik rock yang juga menyajikan tiga band rock papan atas Indonesia bersatu atas nama rock, yakni Netral, Edane, dan Pas Band bertajuk ”Three 2 Rock” yang digelar disalah satu Cafe di Jakarta Selatan akhir Desember 2011. Album “3 to Rock” yang digagas Rumah Musik Indonesia sebagai lebel menghadirkan Grassrock, Boomerang dan D’bandhits patut diacungi jempol.
Paling tidak, kehadiran band rock yang memiliki sejarah panjang di skena musik tanah air, yakni Grassrock dan Boomerang, tanpa kecuali D’bandhits yang baru seumur jagung, lewat tembang-tembang yang bertengger di album “3 to Rock” menjadi pengobat rindu para penggemar yang sudah menantinya. Sekaligus juga, ini sebuah langkah awal untuk mengembalikan kejayaan musik rock di negeri tercinta, Indonesia.
Album yang dikerjasamakan dengan KFC Jagonya Musik & Sport Indonesia, menjadi album rock pertama dihadirkan kepasar musik Indonesia yang dirilis KFC setelah berkiprah sekian tahun di industri musik Nasional. Di album ini terdapat 11 lagu yang terdiri dari 4 lagu Boomerang, 4 lagu Grassrock, 2 lagu D’Bandhits dan 1 lagu kolaborasi semua artis.
Ketiga band yang terdapat di album ini sangat unik. Untuk pengerjaan masing-masing lagu dieksekusi oleh band masing-masing di studio mereka sendiri. Khusus untuk lagu kolaborasi yang berjudul “Kebebasan” yang diciptakan oleh para personil Grassrock yaitu alm. Dayan dan Yudhi yang belum pernah dirilis, pengerjaannya dilakukan di studio milik RMI yang berlokasi di BSD Tangerang.
Kita dari awal membuat tiga grup band yang memiliki perbedaan. Tapi di antara ketiga ini ada benang merah dengan lagu ‘Kebebasan’ yang merupakan persembahan untuk almarhum mantan vokalis grup band grass rock,” ujar Rumi Azies, produser Jagonya Musik & Sport Indonesia disela-sela perilirisan album 3 to Rock.
Semoga dengan hadirnya album ini bisa menjadi tonggak bangkitnya kembali musik rock dan merajai kembali industri musik nasional seperti era-era sebelumnya. Seperti slogan-slogan para pencinta musik rock, sepertinya memang benar terjadi “Rock Never Dies!”. Musik rock tetap menggelora dan mengalir diurat nadi untuk selalu mendapat tempat di hati penggemarnya.|Edo