AKSI Diam Tanpa Kata, Cukup Platform Digital Direct License Saja Yang Bicara

Music259 Dilihat

Urbannews | Industri musik di Indonesia selalu tidak baik-baik saja. Entah kenapa? Persoalan yang muncul, bukan melulu tentang pembajakan yang tak pernah usang tapi soal hak royalti pun tak kunjung usai dari zaman baheula. Kalau seloroh rekan jurnalis senior Denny Mr, dari majalah HAI terbit sampai HAI bubar alias tutup, isu ini tak pernah tuntas atau selesai.

Industri musik di Indonesia herannya selalu saja gaduh, beragam isu-isu yang sifatnya kontroversi dan bikin geger muncul dan mencuat, layaknya sebuah sinetron penuh kesedihan berjilid-jilid. Dan, cilakanya para stakeholders Industri musik sepertinya tak mau peduli. Alih-alih mencari solusi untuk memperbaiki, mencari akar masalah pun tak dijalaninya.

Jika diamati, Industri musik di Indonesia tak memiliki blue print yang jelas dan pasti dalam membangun ekosistem yang baik juga sehat. Nampaknya, para pelakunya berjalan masing-masing yang muaranya untuk kepentingan pribadi sendiri-sendiri. Tidak ada kompromi, apalagi tepo saliro senasib sepenanggungan. Termasuk yang paling sederhana yakni solutif, seperti temu pikir, temu ide, temu gagasan.

Maka, tidak salah jika muncul serangkaian kontroversi mengenai hak cipta lagu yang memicu perdebatan panas di kalangan komposer dan pemusik soal pembayaran royalti. Kondisi ini semakin rumit dengan adanya lembaga pemungut royalti, seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), pengelola royalti lagu dan musik di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dipandang tidak transparan dalam pelaporan keuangan royalti yang masuk.

Keberadaan lembaga tersebut di satu sisi seharusnya melindungi hak pencipta lagu, tapi di sisi lain dinilai tidak memberikan keadilan finansial yang memadai. Hal ini mengisyaratkan perlunya reformasi dalam sistem pembayaran royalti dan pelindungan hak cipta lagu di Indonesia. Nah! dalam menghadapi kompleksitas ini, ekosistem musik Indonesia dihadapkan pada tuntutan untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak dalam industri kreatif.

Maka tidak salah untuk menghadapi pada tuntutan dan menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak dalam industri kreatif, khususnya hak royalti. Para pencipta lagu atau komposer yang bersatu serta tergabung dalam wadah bernama AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia) mengusulkan solusi alternatif melalui praktik direct licensing(lisensi langsung).

AKSI yang di inisiasi Ahmad Dhani, Piyu Padi, Rieka Roslan, Badai dan sejumlah komposer termana lainnya. Lisensi langsung dipandang sebagai jawaban atas kendala-kendala yang muncul dari sistem blanket license (pemberian lisensi kepada banyak pihak), yang cenderung tidak memberikan keadilan finansial bagi pencipta lagu. Dalam praktik lisensi langsung, penyanyi membayar royalti secara langsung kepada pencipta lagu sesuai dengan kesepakatan bersama.

Menurut Piyu Padi, proses ini diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar, lebih cepat, dan lebih transparan bagi pencipta lagu. Yang terpenting, model pembayaran langsung ini dianggap lebih “memanusiakan” para kreator, mengingat jumlah royalti yang diterima akan jauh lebih signifikan dibanding sistem blanket license yang biasa diterapkan lembaga pemungut royalti.

Piyu menegaskan, bahwa Sistem Direct License ini dirasa sangat efektif, efisien, tepat sasaran dan hasil royaltinya dapat dirasakan langsung oleh penciptanya. Sistem Direct License ini sudah di jalankan di beberapa negara dengan terlebih dahulu melakukan Option Out untuk royalti live performance dari Lembaga Manajemen kolektif (LMK).

Di Amerika Serikat, praktik itu diterapkan melalui sistem yang dikenal sebagai direct deals antara pencipta lagu dan penyanyi. Pencipta lagu, baik individu maupun perusahaan penerbit musik, dapat menjalin kesepakatan langsung dengan penyanyi atau produser rekaman tanpa melibatkan lembaga pemungut royalti. Dalam kesepakatan ini, pembayaran royalti disepakati dengan persentase tertentu berdasarkan pendapatan yang dihasilkan dari karya tersebut.

Selain Amerika, beberapa negara Eropa, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman, telah mengadopsi pendekatan serupa. Di negara-negara itu, para pencipta lagu dan pemusik dapat membuat kesepakatan langsung dengan pihak yang menggunakan karyanya, sehingga mereka punya kendali lebih besar atas hak ciptanya. Hasil penerapan model lisensi langsung ini dapat terlihat dalam peningkatan pendapatan yang diterima para pencipta lagu. Mereka dapat mengamankan pembayaran royalti dan memiliki kontrol yang lebih besar terhadap penggunaan karya mereka.

Seiring dengan perkembangan teknologi, negara-negara ini terus memperbarui dan menyesuaikan model lisensi langsung mereka untuk menjawab dinamika industri musik yang terus berubah. Kesuksesan ini dapat memberikan inspirasi dan bahan pembelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan sistem pembayaran royalti yang lebih efektif dan berkeadilan.

Untuk itu, AKSI pun berinisiatif membuat platform Digital Direct License (DDL) untuk mewadahi penerimaan hak royalti para pencipta lagu, khususnya mereka yang tergabung di AKSI. Lebih lanjut Piyu Padi menjelaskan, platform DDL ini real time. Komposer bisa langsung mendapatkan royalti mereka saat penyanyi sudah melakukan perizinan. Nominal royalti yang ditetapkan juga tak sembarangan. Perihal ini AKSI merujuk pada royalti digital sebanyak 10 persen.

Platform Digital Direct License (DDL) yang terus disempurnakan, dan belum secara resmi di publish. “DDL ini memiliki standarisasi perhitungan, jadi pencipta lagu tidak akan menentukan harga seenaknya. Selain itu, AKSI juga menegaskan bahwa pihaknya tak akan mengambil keuntungan dari platform ini. Mereka hanya ingin mewadahi pencipta lagu untuk mendapatkan haknya.” pungkas Piyu, Senin (20/5/2024) di bilangan Gatot Subroto, Jakarta.

Panjang umur musik Indonesia. Saatnya istirahatlah kata-kata, biarkan karya nyata yang bicara!.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *