Urbannews | Jazz Gunung yang digelar diatas ketinggian 2000 meter dari permukaan laut, tepatnya berada dikaki Gunung Bromo ini, menjadi salah satu pionir festival musik di alam terbuka di Indonesia. Dan, empat belas tahun gelaran musik jazz bertaraf internasional inipun tetap konsisten menyuguhkan komposisi bernuansa etnik dari sekian penampil di dalamnya.
Seperti tersajikan di Jazz Gunung Bromo Festival 2022 pada hari kedua, Sabtu (23/7) malam, yang dihelat di Amfiteater Terbuka_ Jiwa Jawa Resort, Probolinggo, Jawa Timur. Suguhan yang membuat jamaah Al-Jazziyah riang gembira malam itu, selain penampilan Aditya Ong Trio, Andre Dinuth, juga Andien.
Begitu pula, dua penampil terakhir yang sekaligus menutup temu merindu dalam perjumpaan hajatan musikal Jemaah Al-Jazziah di Jazz Gunung selama 2 hari yang cukup menarik, yakni; The Komodo Project Gilang Ramadhan, serta Ring Of Fire Project ft. Jogja Hiphop Foundation.
Persetubuhan musikal pada kedua group project diatas, cukup terasa. Dan, lebih menariknya lagi keduanya baik The Komodo Project maupun Ring Of Fire Project feat. Jogja Hiphop Foundation, merawat bahasa daerah lewat lagu, selain instrumen juga ornamen musik etnik menjadi kuncinya.
The Komodo Project

Grup musik bentukan Gilang Ramadhan, Adi Dharmawan, Ivan Nestorman dan (Alm) Donny Suhendra, 15 Agustus 2002 lampau, tetap konsisten membawa ornamen musik etnik lewat alat musik dawai Sasandu atau Sasando yang dimainkan Ivan Nestorman, dengan sentuhan bahasa Manggarai/Flores lewat lagu Samolime, Dende, Wajogea, Mataleso, Ovalangga, Tatabuhan Sungut, Kondo The Bird, dan Mogi E.
Grup yang sebelumnya bernama Nera ini meyakini bahwa musik itu tak mengenal bahasa. Musik punya caranya sendiri untuk semua yang mendengarkan memahaminya, hingga tidak membutuhkan penerjamah untuk menikmati apa yang disajikan musik. Maka tak heran, ada yang menyebutkan bahwa musik adalah bahasa universal.
Begitu pula penggebuk drum The Komodo Project, Gilang Ramadhan, menggabungkan sifat dan warna alat tetabuhan tradisional seperti gendang, rebana, tifa hingga saron atau bonang, hasil eksplorasi kunjungannya ke Aceh, Banyuwangi, Toraja, Bali hingga Irian, ke dalam unsur permainan drumnya. Irama atau nada yang bernuansa Indonesia ini dinamakan Gilang Ramadhan “Rhythm Sawah”.
Sedangkan Adi Dharmawan sang bassist, lewat cabikan bassnya ikut memperkuat dialog bunyi drumm yang dimainkan Gilang Ramadhan maupun petikan gitar atau sasandu Ivan Nestorman. Sebuah komposisi menarik hasil dari persetubuhan mereka bertiga yang beda asal kedaerahan, Adi Dharmawan berdarah Madura, Gilang Ramadhan dari tataran Sunda, serta Ivan Nestorman dari Flores.
Bagi Ivan, Gilang, maupun Adi, panggung ibarat sebuah kanvas, di mana mereka sebagai pemain musik menjadi pelukisnya, mencoretkan satu warna, dan di antara mereka saling menambahkan warna lainnya. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kesan teknis dalam permainan bermusik mereka. Dan, ini sebuah upaya membuat penonton terkejut, tapi terkadang malah mereka yang terkejut dengan musik yang dihasilkannya.
Ring Of Fire Project feat. Jogja Hiphop Foundation

Malam yang semakin dingin di Amfiteater Terbuka_ Jiwa Jawa Resort, kembali rasa rindu terhangatkan lewat penampilan kolaborasi apik Ring Of Fire Project feat. Jogja Hiphop Foundation. Grup musik besutan almarhum Djaduk Ferianto ini membuka penampilan dengan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng, sebuah lagu yang digubah oleh seorang perempuan berkebangsaan Belanda bernama Lousia Johanna Theodora ‘Wieteke’ van Dort. Lanjut dengan medley lagu Sandvort dan Tanjung Perak.
Kemudian, suasana berubah semakin meriah saat satu persatu personel Jogja Hip Hop Foundation memasuki panggung. Teriakan histeris serta tepuk tangan penonton pun tak terelakan menyambut kedatangan grup hip hop asal Yogyakarta tersebut. Tanpa basa basi, Ring Of Fire Project dan Jogja Hiphop Foundation langsung membawakan lagu Sadulur, Ora Cucul dan Kecap No.1.
Disela-sela penampilannya, para personel Jogja Hip Hop Foundation sempat mengucapkan rasa hormatnya untuk mendiang Djaduk Ferianto sebagai salah satu founder Jazz Gunung. “Buat kita ini pengalaman yang luar biasa, bagaimanapun mas Djaduk adalah kakak kita, sebuah kehormatan malam ini kita bisa manggung di Jazz Gunung Bromo bersama Ring Of Fire Project,” ujar personel Jogja Hip hop Foundation.
Usai membawakan beberapa lagu, Jogja Hip Hop Foundation mengajak salah satu founder Jazz Gunung yakni Butet Kartaredjasa untuk naik ke atas panggung. Penampilan mereka pun dilanjut dengan lagu Cintamu Sepahit Topi Miring. Butet dengan lincah ikut berdansa saat lagu tersebut dimainkan. Tidak hanya itu, Butet juga terlihat menyanyikan lagu tersebut dan tampak begitu menikmati musik dan suasana yang ceria.
Paduan antara musik jazz, keroncong, dan hip hop yang dibawakan Ring of Fire Project dan Jogja Hip Hop Foundation, sukses menghasilkan harmonisasi yang sangat apik. Sebagai lagu pamungkas sekaligus penutup gelaran Jazz Gunung Bromo 2022, Jogja Hip Hop Foundation membawakan lagu fenomenal mereka yang berjudul Jogja Istimewa.
Sebelum lagu itu dimainkan, para personel dari Jogja Hip Hop Foundation terlebih dahulu mengajak seluruh penonton berdiri untuk sama-sama menyanyikan dan menikmati lagu. Para penonton pun tetlihat sangat antusias dengan bernyanyi dan berdansa lepas ketika Jogja Istimewadimainkan. Alhasil, penampilan Ring of Fire Project dan Jogja Hip Hop Foundation sukses menutup Jazz Gunung Bromo 2022 dengan manis