The Reality ‘Audisi’ Show, Natural Yes – Kosmetik No!

Television499 Dilihat

Urbannews | Pesan whatsapp dari seorang sahabat jurnalis senior masuk ke telepon genggam. “Apa komentar soal Iis Dhalia, beginikah gimmick dunia hiburan?”, tulisan sang jurnalis. Saya diam sejenak. Lalu saya tersenyum sendiri sambil berkata dalam hati, “luar biasa kehebohan video audisi acara kontes suara yang ditayangkan di stasiun televisi nasional ini”. Komen-komen netizen di instagram, facebook, media, website hiburan hingga video-video youtube mengganggu fokus kedua mata ketika saya men”scroll” layar telepon genggam sambil browsing sana-sini.

Satu hari kemudian, polemik saling silang di sosial media dan media online masih juga belum berhenti. Sang juri membela diri, sang produser beralasan ini adalah bagian dari gimmick reality show, para artis teman selebritis membela para juri, pakar media mengulas dari sudut sosiologis hingga kebutuhan rating televisi tapi ribuan netizen masih tetap menyayangkan kenapa adegan ini dibiarkan dilayar televisi.

Gara-gara reshare, copy paste dan share link, tanpa disadari nama kota Baubau di Sulawesi Tenggara yang kaya akan perikanan, tiba-tiba menjadi “hits”. Diketik ulang ratusan kali oleh netizen maupun media online. Sementara, nama program acara televisi kontes ini langsung menjadi trending sosial media. Video share link di laman youtube ditonton lebih dari 2.3 juta views belum termasuk short clip dengan meme-meme beredar di ruang-ruang group chats.

Sebenarnya siapa yang salah dalam adegan audisi kontes suara ini? Inilah dunia Reality Show. Program ini kalau di google translate muncul terjemahan, acara realitas. “Reality shows typically don’t have scripts, but there is often a shooting script or an outline that details aspects of an episode or part of the show”, tulis Winfred Fordham Metz, jurnalis dan pengamat media dari Howstuffworks.com, sebuah website yang memberikan pencerahan kepada publik terhadap hal-hal atau terminologi yang sulit dipahami.

Winfred ingin menggaris bawahi bahwa program reality televisi itu tidak menggunakan script atau skenario tapi menggunakan outline (bisa dalam bentuk creative rundown) untuk membangun sebuah adegan. Nah, bagaimana menerjemahkan outline ini kedalam adegan secara live (langsung) dilayar televisi? Para kreator atau produser televisi akan menyerahkan seluruhnya kepada para talenta yang dikontrak untuk memainkan adegan-adegan ini.

Maka jadilah para host, talent, tv guest, penonton studio, penyanyi, pemeran drama dan para juri dari program Reality Show terjun bebas berimprovisasi sambil berakting dilayar kaca secara “Live Show”. Tanpa batas, tanpa skenario dan tanpa sensor. Merekalah penguasa layar televisi yang ditonton ratusan juta pasang mata dari rumah gedungan sampai ke kampung-kampung pelosok kota dan pedesaan seluruh negeri.

Lalu kalau ada salah ucap, salah kata, salah tingkah, salah kostum dan salah-salah lainnya maka kritikan tajam ditujukan langsung ke mereka. Seolah-olah merekalah yang paling bertanggung jawab pada kesalahan-kesalahan live show ini, padahal mereka hanya memainkan peranan yang ada dalam script, yang ditulis oleh kreator atau produser acaranya. Mereka juga sudah memberikan penampilan yang terbaik untuk mengisi acara durasi 2 sampai 3 jam, supaya tetap menarik. Ini memerlukan talenta khusus. Tidak semua artis mampu melakukan hal ini.

Disi lain, para kreator atau produser atau pengarah acara atau programmer televisi kewalahan karena seringkali improvisasi akting para talenta, justru kebablasan dan “over acting” sehingga mendapat kritikan dari publik. Hasilnya antara konsep, rundown, durasi dan script menjadi tidak selaras dengan penampilan para talenta yang kurang paham memainkan peran yang diberikan. Padahal program reality show ini termasuk program unggulan dan mempunyai peringkat rating tinggi. Ketika program ini dirancang, sudah dikemas dengan design produksi yang kreatif, cermat dan menghibur sesuai dengan target pemirsanya. Para sponsor mengantri untuk mengisi jeda iklan, OBB/CBB, super impose hingga build in products. Maka, tidak ada pilihan lain. The show must goes on.

Jadi pertanyaannya muncul lagi, siapakah yang salah dalam adegan audisi kontes suara ini?

The Voice, program kontes suara yang sukses di seantero dunia, punya filosofi “suara lebih penting dari penampilan”. Para juri musisi papan atas seperti Adam Levine, Usher, Blake Shelton, Shakira, Jennifer Hudson, Kelly Clarkson hingga musisi hip-hop Pharrell Wiliams, tidak pernah menilai kontestan dari penampilan atau wajah atau wardrobe atau asesoris. Mereka memilih penyanyi dengan mendengar bukan melihat.

Sementara Simon Cowell yang dikenal sebagai juru kritik di American Idol, baru akan berkomentar dan mengkritik soal penampilan atau wardrobe setelah peserta bernyanyi. Satu catatan, gaya bicara Simon tidak mem”bully”kan peserta tapi berbicara apa adanya sesuai dengan expertise nya dibidang musik, tanpa harus menjatuhkan.
Pertanyaannya, apakah para peserta audisi The Voice dan American Idol diwajibkan untuk dandan atau make-up atau berpenampilan Show pada saat audisi? Berpenampilan wajar, yes. Berpenampilan ala panggung pertunjukkan, no.

Tujuan dari audisi itu untuk mencari bakat alami, bukan bakat instan yang dipoles dengan dandanan para stylish profesional. Juri American Idol 2018, Katy Perry dan Lionel Richie justru lebih senang meng-audisi para bakat secara natural, yang kemudian dibimbing menjadi penyanyi profesional. Intinya, dalam program kompetisi Reality show mencari bakat baru maka semakin natural pesertanya, semakin asli audisinya akan semakin disukai oleh publik.

Kembali ke laptop, siapakah yang salah dalam adegan audisi kontes suara ini? Reality show is about the real people. If it’s not real then it’s an acting show. So let’s stay away from the acting show. Make it as real as you can. Then, enjoy the show.

Naratama – Penulis buku Televisi “Menjadi Sutradara Televisi dengan Single dan Multi Kamera”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

78 komentar