UrbannewsID Film | Tragedi pengeboman disekitar Thamrin, Jakarta, yang menghancurkan sebuah kedai kopi dan pos polisi, disertai pula serentetan penembakan yang menelan banyak korban oleh teroris pada awal tahun 2016. Menjadi inspirasi rumah produksi Buttonijo Films dan Bank Rakyat Indonesia, untuk membuat film layar lebar drama aksi tersebut, berjudul ’22 Menit’.
Eugene Panji selaku sutradara film ini, mengatakan, walau diangkat dari kisah nyata, namun ceritanya dibuat fiksi. “Kejadiannya saja yang asli, karakternya fiksi walaupun kita tetap berdasarkan karakter asli yang terlibat dalam Bom Thamrin. Kita bilangnya inspired by true event, dimana kami merekonstruksi ulang kejadian kelam itu,” ujar Eugene, saat jumpa pers di Jakarta, Senin (16/7/2018) sore.
Film yang dibintangi oleh Ario Bayu yang berperan sebagai Ardi, anggota pasukan anti terorisme kepolisian yang mempertaruhkan nyawanya demi mengamankan ibukota dari ledakan bom tersebut. Berkat kesigapan tim dan juga bantuan dari seorang polisi lalu lintas bernama Firman (Ade Pitman Hakim), pelaku serangan bom bisa diamankan dalam waktu 22 menit.
Selain cerita tentang Andi dan Firman, film ’22 Menit’ yang akan tayang 19 Juli 2018 mendatang di Bioskop, juga menghadirkan sudut pandang mereka yang ikut terjebak di dalam situasi mencekam. Beberapa di antaranya adalah office boy bemama Anas (Ence Bagus), dua karyawati bemama Dessy (Ardina Rasti) dan Mitha (Hana Malasan), serta Shinta (Askya Namya) yang merupakan kekasih Firman.
Eugene dan Myrna yang bekerjasama dalam penyutradaraan, serta penulis naskah duet Husein M. Atmojo dan Gunawan Rahaxja, berniat untuk mengangkat nilai-nilai kemanusiaan yang terkait dengan peristiwa tersebut. “Kami menitik beratkan pada sisi humanisnya. Tidak ada kepentingan politis, apalagi berniat menyudutkan siapa pun,” tambah Eugene.
Setelah menyaksikan film ’22 Menit’, ada beberapa catatan menarik. Pertama. Sepuluh atau lima belas menit di awal, sekurangnya ada tiga reka adegan berulang-ulang yang ditandai dengan munculnya angka secara digital menunjukan waktu. Dan, ini cukup membingungkan sekaligus bikin buang waktu plot cerita mengalir dengan baik.
Eugene Panji yang mengatakan berulang-ulang, bahwa filmnya lebih menekankan pada sisi humanis. Sayang, tidak ekplorasi karakter pemeran yang justru menjadi kekuatan dramaturgi film ini. Misal; Ketika Hasan (Fanny Fadillah) menyaksikan adiknya Anas (Ence Bagus) yang mati tertembak, kurang terlihat rasa terpukul lewat emosi kesedihan, kemudian memberontak penjagaan polisi untuk berlari mendekati sang adik.
Begitu pun, ibundanya Anas dan Hasan luput dari pengadegan ekstra, tatkala ia mendengar, atau melihat kabar tragedi pemboman dimana sang anak ikut tewas. Hanya terlihat, ia menghubungi anaknya lewat telpon yang tidak diangkat. Adegan ini, sama persis dengan karakter Shinta (Askya Namya) kekasih Firman, seorang polantas. Rasa panik, kalut dan penyesalannya karena ia mengabaikan telpon Firman, karena ragu dengan pernikahannya, tidak tergali maksimal. Termasuk, istri dan anak Ardi (Ario Bayu).
Eugene Panji menegaskan bahwa film ‘22 Menit’ tidak di maksudkan sebagai dokumentasi dari kejadian tersebut. Justru, malah sebaliknya, film ini seperti dokudrama. Karena sebagian besar lebih, mengulik ketangkasan Densus Anti Terorisme Polri dengan pesenjataan lengkap melumpuhkan teroris. Walau ini penting point-nya disana, tapi unsur drama mendapat porsi yang seimbang.|Edo