UrbannewsID Musik | Mungkin pernah dengar, Edmund Hillary berhasil menjadi orang pertama yang menaklukkan gunung tertinggi di dunia ‘Everest’ tahun 1993. Tapi tidak semua orang tahu, dibalik kesuksesan Edmund menuju puncak tersebut ada seorang pemandu bernama Tenzing Norgay. Namanya memang tidak dikenal sejarah. Sebagai seorang pemandu yang posisinya selalu berada paling depan, justru bisa saja Tenzing menjadi orang pertama menjejakkan kaki di puncak Mount Everest kala itu.
Tapi, apa yang dilakukan oleh Tenzing Norgay?. Saat tinggal satu langkah mencapai puncak, malah dia mempersilahkan Edmund Hillary untuk menjejakkan kakinya jadi orang pertama menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia tersebut. Alasannya sangat sederhana, menurutnya, itu impian Edmund Hillary bukan impiannya. Sebagai pemandu, keberhasilan impian Tenzing tatkala ia bisa membantu dan mengantarkan Edmund Hillary meraih impiannya.
Sikap terpuji yang diperlihatkan Tenzing Norgay, telah mengajarkan kita hakikat dari sebuah ketulusan, pengorbanan, dan kebaikan. Dalam kehidupan beragam karakter yang melekat dalam diri seseorang, ada yang ingin namanya selalu dikenang, apapun kemampuan yang dimiliki pasti selalu ditunjukkan ke semua orang. Di sisi lain, ada pula orang-orang yang lebih suka berada di belakang layar. Dia tak ingin terlihat hebat di hadapan banyak orang, walaupun yang ia lakukan sangat istimewa.
Penggambaran diatas, saya hanya ingin mencoba menukil persamaan yang dijalani Tenzing dengan riwayat perjalanan seorang musisi bersama band yang dibangunnya dan setelahnya. Pasti semua kenal grup musik asal Bandung ‘Kahitna’ yang namanya berkibar di tahun 80-an, atau tepatnya terlahir pada 24 Juni 1986. Mereka tumbuh menjadi ikon musik pop Indonesia yang konsisten selama hampir 32 tahun, masih warna-wiri dipanggung musik hingga kini.
Kahitna dengan kepiawaian personelnya yang mampu meramu aransemen musik dengan harmoni dan lirik yang begitu rapih, menarik dan indah, membuat setiap karya lagu yang muncul disukai banyak orang. Sebuah prestasi yang membanggakan dan jarang dimiliki oleh band-band lain seusianya, bahkan oleh band-band zaman kini yang lebih banyak lahir karena efek domino berbau “prematur” hingga sindroma “popular semusim”.
Bicara Kahitna, pasti semua orang tertuju pada sosok Yovie Widianto sebagai motor penggerak. Tapi, sebenarnya ada satu sosok lagi dari sekian banyak personil yang bermukim di Kahitna tidak kalah pentingnya. Dia, adalah Dani Daksinaputra atau akrab dipanggil Dani Daks sang gitaris. Singkat cerita, Dani yang awalnya belajar musik, khususnya gitar, secara otodidak, kemudian secara formal berguru gitar klasik langsung dengan Iwan Setiawan pemilik dan pendiri Sanggar Musik Bandung (SMB).
Menginjak usianya ke-16 tahun, tepat saat duduk di bangku SMA pada tahun 1976. Dani mulai aktif mengajar di Yayasan Pengajaran & Pendidikan Musik (YPPM) di Bandung. Berikutnya pada tahun 1982, ia menyabet gelar juara gitar klasik tingkat Jawa Barat. Selanjutnya di tahun 1984, Dani mulai belajar jazz di Elfa Music Studio di Bandung dengan guru Alm. Hasbullah (ayah kandung Elfa Secioria), termasuk juga belajar dengan Alm. Elfa Secioria.
Tahun 1985, saat Dani Daks bergabung di Elfa Music Studio sebagai Chief Instructor, ia mendirikan sebuah group band yang diberi nama the Coop’s bersama Yovie Widianto, Lucky, Iwan dan Dedi Wiradz, Desy Arnaz, Bubi Iradiadi, serta Ruth Sahanaya sebagai vocalist. Dan, di tahun yang sama the Coop’s menorehkan prestasi yakni menjadi finalis sebuah kompetisi antar band pada tingkat nasional, dan Ruth Sahanaya menyabet gelar ‘Best Vocalist’.
Pada tahun 1986, nama the Coop’s akhirnya berubah menjadi Kahitna hingga kini. Tidak hanya nama, posisi vocalist pun digantikan oleh Trie Utami dan drummer digantikan Hentrisya. Tahun 1987, formasi Kahitna berubah, sebagian besar timnya ditarik menjadi Indonesia 6. Dani Daks dan Yovie WIdianto tetap bertahan, bersama formasi baru yakni Tommy (bass), Budiana (drums), Dedi Wiradz (percussions), dengan vocalist Hedi Yunus, Carlo Saba, Rita Effendhi dan Netta Kusuma Dewi.
Selain bermain di Kahitna, Dani juga merangkap bermain di grup Kangooro di Bandung bersama dengan musisi Purwa Tjaraka, Nico Hermanto, Pinky, Ajie Rao, David Klein, Lucky, dan Ismoyo (Vocal), dengan genre musik yang agak berbeda dengan Kahitna. Dalam kurun waktu tersebut, Dani sempat menjadi season player album Trio Libels, Iin Parlina trio, dan rekaman musik lain bersama Purwa Tjaraka.
Di tahun 1989, bersama Kahitna dan Kangoroo, merekam single mereka dalam kompilasi 10 bintang Nusantara untuk lagu Adakah Dia (Kahitna) dan Gadis Disko (Kangoroo). Tahun 1991, Dani Daks memutuskan untuk focus pada pekerjaan yang digelutinya, dan non-aktif di musik. Kemudian, ia kembali lagi bermusik pada tahun 2006, bersama dengan band Bogor Jazz Lovers (BJL), serta aktif bersama komunitas Jazztaga.
Kiprah Dani Daks di dunia musik, bukan sekedar player yang pandai memainkan gitar saja. Sekitar tahun 85-an, saat di Elfa Music Studio pun, Dani mulai menulis lagu atas dorongan Elfa Secioria untuk ajang Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR). Walaupun belum berhasil menjadi finalis, beberapa karya lagu ciptaannya sempat terpilih untuk direkam secara komersial oleh Imaniar berjudul Kehidupan (aslinya Tegar-1987), dan Elfa Singer berjudul Nyatakan Kebenaran/Kejujuran (1990).
Kepiawaiannya menulis lagu, akhirnya kembali disalurkannya mulai tahun 2014 disela-sela santainya. Pada tahun 2017, Dani Daks berkolaborasi dengan Agung Zulhen – Nayaz Production merekam hasil karya yang ditulisnya menjadi sebuah album yang diberi judul ‘Waterflow’, walaupun masih untuk lingkup yang terbatas. Baru kemudian, diawal bulan Januari 2018, Dani Daks berani merilis album Waterflow yang diperkenalkannya di Jakarta, beberapa bulan kemudian di Bogor.
Album yang berisikan 11 komposisi lagu karya ciptanya ini, yakni Menyambut Pagi, Perjalanan Kita, Gordoba, Tegar, Walk Me By, Waterflow, Coming Home, Live it Up, Cabine by The Sea, Unscene, dan MCM theme song. Kehadiran album ini, tidak saja sekedar menandakan kembalinya Dani Daks dipanggung musik tanah air yang telah lama ditinggalkannya. Tapi, menjadi sebuah dokumen penting perjalanan seorang musisi dikatalog musik Indonesia sebagai leterasi untuk generasi mendatang.
Jangan sampai generasi mendatang, cuma mengenal lagunya, tapi tidak tahu siapa yang membawakannya. Dan, lebih parahnya lagi sampai tidak mengenal rupanya, sepakterjangnya, apalagi perjalanan hidup dan karir bermusiknya. Coming home to music industry Kang Dani Daks, jangan pernah lelah untuk terus berkarya.|Edo (Foto Istimewa)