Jakarta, UrbannewsID.com | Di zaman modern sekarang ini, biasanya karena cinta yang medasari seseorang memutuskan untuk menikah. Meskipun penafsiran masing-masing orang tentang cinta masih berbeda-beda. Tapi tidak demikian pernikahan menurut adat, ada syarat serta faktor lain yakni aturan budaya yang mengikat di dalamnya. Seperti sebagian orang Bugis-Makassar misalnya, mereka masih menganut sistem pernikahan koloni, yang artinya menikah dengan orang yang bukan keturunan bangsawan merupakan hal yang tabu. Pernikahan memang masih diukur dengan bibit-bebet-bobot, urusan cinta berada dibelakang mengikuti.
Ketika cinta tak direstui, silariang atau kawin lari jadi pilihan terakhir dua insan yang sedang dimabuk cinta tapi tidak beroleh restu. Baik restu dari salah satu keluarga, atau restu dari kedua pihak keluarga. Bagi suku Bugis-Makassar, anak gadis yang dibawa lari atau kawin lari tanpa restu dari orang tua berarti aib besar, sebuah perbuatan yang dianggap mencoreng nama baik keluarga dan merendahkan harga diri keluarga besar utamanya keluarga besar si wanita. Si gadis dan pasangan kawin larinya kemudian akan dianggap sebagai tumate attallasa, atau telah dianggap mati dan tidak akan dianggap sebagai keluarga lagi sebelum datang memperbaiki hubungan.
Tapi, silariang juga kadang berujung maut, dan ini cerita tentang salah satu kronik dalam budaya suku Makassar. Bagi keluarga lingkar dalam si gadis, sebuah kewajiban diletakkan pada pundak mereka, khususnya kepada kaum lelaki. Kewajiban untuk menegakkan harga diri keluarga, sehingga di manapun dan kapanpun mereka melihat si lelaki pasangan silariang itu maka wajib bagi mereka untuk melukainya dengan sebilah badik. Ini adalah harga mati untuk menegakkan harga diri keluarga. Perkecualian diberikan apabila pasangan tersebut lari ke dalam pekarangan rumah imam kampung. Pasangan tersebut akan aman di sana, karena ada aturan yang menyatakan kalau mereka tak boleh diganggu ketika berada dalam perlindungan imam kampung.
Imam juga yang akan menjadi perantara ketika pasangan silariang akan kembali ke keluarganya secara baik-baik atau disebut mabbajik. Imam akan datang kepada keluarga si gadis, bernegosiasi dan menentukan waktu yang tepat untuk pelaksanaan acara mabbajik. Ketika kesepakatan sudah terpenuhi, maka imam akan membawa pasangan tersebut datang kepada keluarga besar si gadis sambil membawa sunrang (mas kawin) serta denda yang telah disepakati. Selepas acara mabbajik maka lepas juga annyala yang selama ini tercetak di jidat pasangan kawin lari tersebut. Mereka bisa kembali kepada keluarga besarnya dan dengan demikian harga diri keluarga besar juga dianggap telah ditegakkan.
Sebuah kisah cinta dua insan yang tak direstui dan timeless memang seialu relevan untuk diangkat menjadi sebuah cerita film menarik, terutama di kalangan anak muda. Begitulah film “SILARIANG: Cinta Yang [Tak] Direstui” hadir di perfilman tanah air untuk menggambarkan sebuah kisah percintaan yang seialu happening dari masa ke masa. Dan Silariang sendiri merupakan sebuah isu yang tak lekang oleh jaman di kalangan Bugis Makassar. Film yang segera beredar pada 18 Januari 2018 ini di seluruh bioskop Indonesia, merupakan produksi perdana dari rumah produksi asal Makassar, Inipasti Communika bekerjasama dengan Indonesia Sinema Persada.
SILARIANG: Cinta Yang [Tak] Direstui, melibatkan sineas-sineas muda Indonesia hasil kolaborasi Makassar dan Jakarta. Film yang skenario film yang ditulis Oka Aurora, penyutradaraannya oleh Wisnu Adi, menggandeng sederet aktor muda Indonesia, seperti Bisma Karisma, dan Andania Suri, serta Dewi Irawan peraih 2 piala Citra. Dan, juga aktor lokal berbakat Makassar seperti Nurlela M. Ipa, Muhary Wahyu Nurba, Sese Lawing, Cipta Perdana, Fhail Firmansyah yang didukung sejumlah pemain-pemain berbakat Makassar lainnya. “Kesederhanaan cerita ini menjadi daya tarik tersendiri. Mengangkat realita yang sering terjadi di kehidupan kita, tentang cinta yang akhirnya menjadi sangat rumit,” jelas Wisnu Adi sang sutradara
Proses produksi film “SILARIANG: Cinta Yang [Tak] Direstui” sejak pertama kali riset, penulisan, hunting lokasi, proses latihan dialek Makassar serta syuting film hingga post production menghabiskan waktu yang cukup panjang. Meski tak menyebutkan lokasi spesifik di adegan film, sebagian besar gambar direkam di lokasi wisata eksotis, Rammang Rammang, yang tengah dibidik menjadi primadona pariwisata. Rammang Rammang berjarak sekitar sejam perjalanan dari Makassar. “Sebagal putra daerah, saya percaya kearifan lokal bakal menjadi kekuatan baru di perfilman Indonesia,” ujar Ichwan Persada selaku Produser film ini.|Edo