Jakarta, UrbannewsID.| Sepasang kaki bersarung kaos kaki, bergerak terjungkit dan kadang menapak, diatas karpet yang terserak sebuah buku tebal, amplop dan barang lainnya. Kadang kala melangkah hilir-mudik, kemudian terpaku tak bergerak. Entah siapa pemilik sepasang kaki bersarung kaos kaki itu, dan sedang apa atau kenapa? Sampai akhirnya, sepasang kaki bersarung kaos kaki itu ternyata milik seorang gadis catik, Alya namanya dalam cerita, tatkala dia membungkuk meraih buku serta sebuah amplop, kemudian dibuka dan membacanya, sebelum ia taruh kembali dalam lemari dibawah tumpukan baju-baju.
Adegan diatas adalah pembuka film ‘Satu Hari Nanti’ karya Salman Aristo, produksi Evergreen Pictures dan Rumah Film, yang akan tayang serentak pada tanggal 7 Desember 2017 mendatang di seluruh bioskop. Alya si pemilik kaki bersarung kaos kaki yang diperankan oleh Adinia Wirasti, buku dan sebuah amplop menjadi kunci pembuka sekaligus penutup cerita film ini. Salman sebagai sutradara sekaligus penulis skenario, ingin menyampaikan tentang sebuah pilihan dan kegelisahan anak-anak muda dalam membangun sebuah komitmen dalam lingkup cinta, keluarga dan pekerjaan. Liku-liku pertemanan, kisah cinta, konflik dan perselingkuhan, menjadi bumbu penyedapnya.
Adinia Wirasti (Alya), Ayusitha (Chorina), Deva Mahendra (Bima), Ringgo Agus Rachman (Din), adalah para tokoh utama film ‘Satu Hari Nanti’. Mereka berempat hidup di Swiss, sebuah negara nun jauh disana dengan latar belakang yang berbeda, baik tujuan maupun kepentingannya masing-masing. Karena mereka berempat berasal dari Indonesia, jadilah sahabatan. Dalam cerita film ini, digambarkan Alya dan Bima sepasang kekasih, begitu pula hal yang sama antara Chorina dan Din. Lazimnya kisah roman, setiap pasangan selalu terjadi selisih paham yang berujung pertengkaran. Sejurus kemudian, satu sama lain hadir menjadi dewa-dewi penolong sebagai penguat hati, simpati dan berujung perselingkuhan.
Alur cerita film ‘Satu Hari Nanti’ berjalan merambat pelan, konflik yang terbangun pun hanya sebatas pada perselisihan ego masing-masing pasangan tanpa ekspresi. Yang terlihat, hanya emosi birahi melalui pengadegan pelukan, ciuman dan berakhir di atas ranjang. Adegan sex keempat pemain hanya sebatas kulit luar dan tidak vulgar, cukup diacungi jempol untuk ukuran film di Indonesia. “Saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan, bahwa ada cerita dan realita anak muda semacam ini yang tidak bisa dinafikan. Silahkan penonton menterjemahkan sendiri, apa yang tersirat dalam film ini untuk menjadi pembelajaran. Makanya, film ini ditandai batas usia untuk 21+, hanya untuk konsumsi dewasa dengan pikiran yang terbuka,” kilah Salman, saat dijumpai di press screening filmnya di XXI Epicentrum Kuningan, Selasa (5/12) sore.
Film yang diproduseri Dienan Silmy dan Krisna Wyana, 100 % mengambil set lokasinya di 4 kota yang berada di Swiss, yakni Interlaken, Thun, Briendz serta sebuah gunung tertinggi di Eropa, Jungfraujoch, sebagai latar belakang dari ceritanya. “Ini bukan film jalan-jalan, apalagi mengangkat destinasi negara lain. Tapi, tentang karakter-karakter yang hidup serta tumbuh di negara lain tempat mereka tinggal, untuk menjalani mimpi dan harapannya. “Bagaimana kedekatan satu sama lain, cara beradaptasi, hingga mengatasi problem yang harus dihadapinya mereka masing-masing,” pungkas Aris, sapaan akrab sang sutradara, menutup perbincangan.|Edo (Foto Dudut SP)