Jogja, UrbannewsID.com | Band progresif metal asal Amerika, Dream Theater, memang luar biasa. Bukan saja secara personal masing-masing piawai memainkan instrumen musiknya dengan komposisi lagu-lagunya yang jelimet. Belum lagi, jumlah ketukan dalam satu ruas biramanya pun melompat-lompat, dari 4/4 ke 6/8 atau tiba-tiba pindah ke 2/4. Termasuk, durasi lagunya sangat variatif mulai dari yang terpendek 2.21 menit di ‘Wait For Sleep, hingga yang terpanjang 23.08 menit di lagu A Change of Sessions.
Ternyata tidak cukup sekedar manggut-manggut mengikuti irama atau hafal lagu saat mendengarkan dan menyaksikan serentetan komposisi lagu yang dimainkan James LaBrie (vokal), John Petrucci (gitar), John Myung (bass), Jordan Rudess (keyboard) dan Mike Mangini (drum). Tapi juga, minimal butuh pemahaman lebih soal musik walau hanya sedikit untuk mampu mencernanya. Maka tidak heran, jika banyak yang menyatakan mereka adalah profesor musik. Bermain musiknya sangat runut, rapih, kompak, tidak emosianal, bertanggung jawab terhadap part masing-masing, kapan cepat dan pelan, kapan satu sama lain harus di depan atau di belakang, pastinya saling menjaga tempo untuk tetap harmoni.
Dua malam bersama Dream Theater diajang pentas musik paling bergensi di “JogjaROCKarta: International Rock Music Festival” yang helat Rajawali Indonesia Communication, 29-30 September 2017, di Stadion Kridosono, Yogyakarta, membawa kesan dan pengalaman yang sangat menarik. Antusias penonton untuk menyaksikan musisi idolanya di hari pertama, baik Kelompok Penerbang Roket, Death Vomit, Power Metal, Godbless, tentu saja Dream Theater, tampak mengekor sampai di pinggir jalan yang juga dipenuhi pedagang kaos menuju pintu masuk yang dibuka tepat pukul 2 siang. Prakiraan yang hadir malam itu, tidak kurang dari 12.000 orang menyaksikan festval musik ini sampai akhir acara. Walau sedikt berkurang di hari kedua, semangat penontonnya masih tetap sama.
Dua malam bersama Dream Theater di JogjaROCKarta, ada beberapa catatan menarik untuk di bawa pulang. Bukan sekedar lagu seperti Dark Eteurnal Night, The Bigger Picture, Hell’s Kitchen, The Gift Of Music, Wait For Sleep yang mereka bawakan, atau setiap deting nada yang mereka mainkan. Tapi, kita atau wabil khusus para artis, musisi atau group band bisa belajar soal manajemen produksi yang sangat profesional sebuah pertunjukan dari group musik besar, Dream Teater. Mungkin di Indonesia sudah mulai ada menerapkan, tapi tidak sedikit pula yang mengabaikannya.
Pertama. Mereka sangat patuh dengan rundown yang dibuat, tepat waktu dan berjalan sesuai jadwal. Bermain runut sesuai set-list lagu yang akan dibawakan, dari awal hingga penutup dibagi beberapa babak untuk jeda istirahat. Kedua. Penataan panggung, sound dan lighting digarap secara detail oleh kru bawaan sendiri yang sangat paham tugasnya sesuai bidang keahliannya. Bagaimana menempatkan para personil band pada titik berdiri diatas stage, karena berkenaan dengan desain lighting yang mereka bawa sendiri agar pas dan tepat sasaran. Soal sound, jangan ditanya. Mereka sangat detail dan perfeck mengolah bunyi yang keluar dari setiap instrumen agar balance dan tidak saling lebih menonjol satu sama lain.
Dua malam bersama Dream Theater, begitu banyak keinginan mengungkap cerita para sang maestro. Bagaimana para punggawa Dream Theater yang memasuki usia paruh waktu masih tetap enerjik, rumus apa salah satu grup progressive metal paling terkemuka di dunia yang terbentuk pada tahun 1985 ini, masih tetap kompak dan solid. Tapi, ada cerita lainnya yang tidak kalah menariknya, yakni perjuangan dan semangat sang promotor sekaligus CEO Rajawali Indonesia Communication, Anas Syahrul Alimi, bersama pasukannya menggelar “JogjaROCKarta: International Rock Music Festival” pertamanya ini.
Bagimana, mereka harus berjibaku memindahkan tempat berikut seluruh kebutuhan penyelenggaraan berskala internasional dalam sekejap, yakni dalam sisa waktu 2 x 24 Jam menuju Hari ‘H’., karena ada surat protes kaya sound penjual tahu bulat yang di goreng dadakan. Persis!, seperti kisah Bandung Bondowoso saat dimnta membangun Candi Prambanan dalam semalam. Dari tuturan sang promotor, seluruh prosedur perizinan sudah disampai kepada instansi pemerintah. Mulai dari tidak di izinkan digelar di pelataran Candi Prambanan, kemudian dapat izin lagi setelah pindah ke Stadion Kridisono, dan berkutnya tidak lagi, seperti bola pimpong yang jadi tumbal kebijakan birokrasi tebang pilih tanpa asih. Ironis!.|Edo (Foto Istimewa)