Jakarta, UrbannewsID.| Di Hollywood sudah menjadi tradisi bila film kontroversial yang meraih sukses di pasaran, hampir dapat dipastikan akan muncul versi parodinya. Film bergenre parodi (spoof) memang tidak masuk dalam kategori di ajang penghargaan, namun keberadaannya patut diperhitungkan karena selalu sukses memberikan hiburan bagi penonton.
Film parodi yang terus berkembang hingga kini, dibuat bukan hanya sekedar untuk mengolok-olok, tapi sekaligus juga sebagai otokritik film-film besar Hollywood atau pun budaya yang sedang berkembang di masyarakat Amerika. Meski beberapa film parodi digarap secara asal-asalan, dalam sejarah pembuatannya ada beberapa film yang secara serius dan sukses menyajikan adegan lucu hingga banyak dinantikan kehadirannya.
Salah satu tokoh sukses yang sering berkecimpung di dunia film-film parodi,
yakni Marlon Wayans, aktor dan komedian. Lihat saja, Fifty Shades of Black yang menggabungkan dua tema unik yaitu seksualitas dan komedi. Scary Movie 1 dan 2, serta film parodi dari The Paranormal Activity yang berjudul A Haunted House 1 dan 2, yang ditulisnya. Scary Movie termasuk sequelnya paling diminati dibanding film The Starving Games, Meet The Spartans, Epic Movie, dan Disaster Movie.
Di Indonesia, film yang memparodikan film box office dianggap kontroversi. Seperti terjadi pada film parodi “Ngawur” produksi oleh SAS film yang terinspirasi dari banyak film seperti Membabibuta, Rumah Malaikat, BFF, Thor, AADC, My Stupid Boss, Conjuring The Ring, Danur, dan lainnya, mendapatkan reaksi yang cukup beragam. Banyak yang mendukung dan mengatakan lucu setelah menyaksikan trailernya, namun juga tidak sedikit pula yang menentang karena dianggap menjiplak.
Film yang sudah masuk pasca produksi dan dibintangi pemain Ricky Harun, Amink, Revaldo, Rizky Mocil, Ricky Cuaca, Khesa Ratu, serta Tio Pakusadewo sekaligus posisinya sebagai produser di film ini. Mendapat peringatan keras dari lewat surat keberatan yang dilayangkan MD Entertament, memparodikan film Danur yang diproduksinya. Bukan hanya mengancam membawanya ke jalur hukum, pihak MD Entertainment juga bemiat menggagalkan penayangan film Ngawur di bioskop-bioskop seluruh Indonesia.
“Ada perbedaan antara parodi dengan plagiat dan terinspirasi. Kalau parodi mau menciptakan ulang dengan sudut pandang yang berbeda, baik itu dari film-film box office maupun fenomena yang tumbuh di masyarakat. Kita hanya mengambil look dari karakter tokoh-tokoh yang di film tersebut, kemudian di elaborasikan dengan imajinasi dan kreasi hingga alur cerita berbeda,” jelas Tio, saat ditemui dalam acara jumpa pers film ‘Ngawur’ di kawasan Bangka, Jakarta Selatan, Kamis (13/7) siang.
Menurut Tio, pihak rumah produksi MD Entertainment seharusnya tidak perlu terburu-buru menganggap permasalahan tersebut secara serius. “Kalau ada orang mau ngasih penghargaan masa dituntut? Kan di dalam film Ngawur itu bukan ada tokoh seperti Danur saja, tapi ada juga tokoh seperti Bossman, tokoh seperti Thor, dan banyak lagi. Justru, kita menolong mereka mempopulerkan tokoh yang sudah dikenal supaya kalau mereka bikin yang kedua, ketiga, ini tetap terjaga,” pungkas Tio, menambahkan.
Bicara soal memparodikan sebuah karya, baik di dunia musik dan film sebenarnya sudah ada dan tumbuh di Indonesia. Cuma saja, ruang lingkupnya sangat terbatas. Misal, Padhyangan atau yang lebih akrab dikenal dengan P-Project atau Project-P adalah kelompok komedi asal Bandung yang dibentuk oleh mahasiswa dua perguruan tinggi, di kenal dalam dunia hiburan dekade 80-90’an lewat parodi dari seni populer seperti film atau lagu terkenal.
Sampai-sampai sebuah stasiun televisi membuat program khusus bagi mereka yaitu extravaganza yang menuai sukses dan populer. Bahkan salah satu alumninya, yakni Indra Birowo yang dibuatkan khusus bermain sendirian oleh salah satu stasiun televisi juga parodi film Terminator II yang dibintangi Arnold Schwarzenegger. Begitu pun di era digital saat ini, dan kita bisa saksikan di YouTube memparodikan sebuah karya film yang dilakukan anak-anak banyak sekali. Salah satunya, film Filosofi Kopi jadi Filosofi Pisang misalnya.
Ketabuan memparodikan sebuah film, sebaliknya tidak disikapi dengan hitam putih. Kedigjayaan dan kepopuleran sebuah film memberikan pengaruh cukup kuat di masyarakat. Jika ada yang berkreasi sebagai bentuk apresiasi, anggap saja menjadi momentum baru untuk membalik kesadaran memaknai sebuah film. Kita terlalu asyik dan kagum terhadap film ditonton banyak orang, sampai lupa sesekali menggeser kedudukannya agar menjadi pihak yang ditonton. Jangan pula menempatkan masyarakat menjadi sebuah generasi yang tumbuh, tua dan mati hanya dengan kasta penonton.|Edo