Boleh Gigs dan Wangsa Timoer Menutup Tirai, Namun Roh Musikalnya Tak Pernah Padam

Urbannews | Malam itu, cahaya lampu menggantung bagai rembulan kecil yang kehabisan tenaga, jatuh redup di atas kepala para penonton. Boleh Gigs dan Wangsa Timoer menutup perjumpaan terakhirnya seperti seseorang yang menutup pintu sambil menahan napas—pelan, berat, dan penuh kenangan yang mendesak pulang. Ruangan mungil di Blok A Fatmawati tampak sesak oleh wajah-wajah yang terasa seperti halaman terakhir dari sebuah buku yang tak ingin dibiarkan selesai.

Rabu (26/11) malam itu, panggung kecil Wangsa Timoer berubah menjadi ruang pengakuan. Ferdi Tahier bersama Rocker Kasarunk, serta deretan band lain yang setia mengisi Boleh Gigs, memainkan chord terakhir dengan gemuruh yang tidak hanya terdengar, tetapi terasa menusuk dada. Nada-nada itu meluruh seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—membawa lega sekaligus luka yang diam-diam tumbuh di sudut hati.

Setiap denting gitar adalah salam perpisahan. Setiap vokal yang melengking adalah upaya menahan air mata. Dan setiap tepuk tangan yang pecah di tengah ruangan terdengar lebih seperti doa daripada apresiasi.

Dari sisi ruangan, Yuke Sampurna berdiri dengan sorot mata yang memendar pedih. Ia tidak memerlukan panggung untuk berbicara; barangkali karena malam itu, keseluruhan ruangan sudah menjadi panggung baginya.

“Wangsa Timoer bukan cuma kafe,” ucapnya, lirih. Suaranya seolah tergulung bersama dengung amplifier yang kelelahan. “Ini tempat di mana musik tumbuh apa adanya. Kita tutup di sini, tapi bukan selesai. Kita cuma pindah rumah.”

Beberapa orang mengangguk pelan. Ada yang mengusap mata tanpa berusaha menyembunyikan. Ada pula yang memeluk kawan di sebelahnya, takut kehilangan kekuatan. Kata-kata Yuke melayang seperti kepingan cahaya yang patah, mengenai dada semua orang yang pernah merasa aman di tempat itu.

Wangsa Timoer adalah rumah bagi nada yang ragu, bagi suara yang belum percaya diri, bagi musisi yang datang dengan tangan gemetar namun pulang dengan hati penuh. Ia bukan sekadar tempat—ia adalah pelabuhan.

Poster-poster musik di dinding tampak seperti kenangan yang mendadak hidup kembali. Aroma kopi Arabika yang biasanya hangat berubah jadi sesuatu yang getir, seolah tahu bahwa malam itu mungkin menjadi ritual terakhir sebelum pintu ditutup rapat per-Desember. Para barista bekerja perlahan, seperti ingin memperpanjang waktu, berharap malam itu tidak benar-benar berakhir.

Tapi setiap cerita memiliki jeda. Dan seperti yang Yuke katakan, ini bukan epilog. Ini hanya tarikan napas panjang sebelum sebuah babak baru dibuka. Wangsa Timoer akan kembali, masih di Jakarta Selatan, menunggu di tempat yang belum diungkapkan—ibarat alamat baru yang ditulis dengan tinta rahasia.

Ketika chord terakhir dipetik, nadanya menggema lebih lama dari biasanya. Seolah enggan pergi. Seolah memohon untuk terus diingat. Suara itu menggantung di udara seperti kabar yang tak sempat selesai dituturkan.

Jakarta, dengan segala hiruk-pikuk yang merayap cepat, mungkin tak pernah menunggu siapa pun. Namun ada ruang-ruang yang menolak hilang walau harus berpindah tubuh. Wangsa Timoer adalah salah satunya. Ia akan kembali—membawa luka manis, harapan baru, dan malam-malam lain yang kelak kembali menjadi saksi lahirnya suara-suara jujur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed