Refleksi Oleg Sanchabakhtiar: Music Video dalam Bingkai Industri Musik

Urbannews | Ada masa ketika musik hanya hidup dalam udara, menari pelan di antara senyap dan kenangan. Namun manusia, makhluk yang senang merawat rasa, mencari cara untuk memberikan rupa pada suara—hingga lahirlah video musik, jembatan antara telinga dan mata. Dari kelipan lampu studio sampai layar-layar kecil di genggaman kita hari ini, perjalanan medium ini adalah kisah panjang tentang bagaimana cahaya ikut menyanyikan lagu. Di Indonesia, nama-nama seperti Oleg Sanchabakhtiar berdiri di persimpangan zaman itu, menjadi saksi sekaligus perajut bahasa visual yang terus tumbuh bersama budaya.

Music video, sejak kemunculannya, selalu berada di antara dua dunia: musik yang tak terlihat dan gambar yang tak berbunyi. Ketika keduanya menyatu, lahirlah bahasa baru—sebuah dialek visual yang terus berubah bersama zaman. Di Indonesia, suara kreator seperti Oleg Sanchabakhtiar membantu menjaga denyut bahasa itu tetap hidup. Baginya, video musik bukan sekadar pelengkap lagu, melainkan “sejarah kecil yang direkam dalam cahaya,” dan pemikiran itu menjadi benang merah dalam mengamati perjalanan panjang medium ini.

Akar historis video musik terbentang hingga era film musikal dan klip promosi pada 1960-an, namun momentum terbesar datang pada 1981, ketika MTV menyalakan revolusi global. Musik tidak lagi cukup didengar; ia harus dilihat. Hadirnya Thriller (1983) karya Michael Jackson menandai titik balik ketika video musik mencapai status sinematik, memadukan narasi dan koreografi dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagaimana dicatat Goodwin, video musik sejak masa itu menjadi ruang intertekstual tempat film, mode, iklan, dan budaya pop saling menyilang.

Oleg, yang tumbuh di era transisi tersebut, menyebut bahwa MTV mengajarkan sesuatu yang esensial: “Visual bukan hiasan. Ia adalah ritme kedua dari sebuah lagu.” Pemikiran ini mengakar dalam cara kreator hari ini melihat musik sebagai pengalaman multisensori.

Memasuki abad ke-21, digitalisasi membawa perubahan drastis. YouTube hadir sebagai panggung global yang tak mengenal batas negara maupun birokrasi industri. Jenkins menyebut fase ini sebagai “budaya konvergensi,” ketika audiens bergeser dari penonton pasif menjadi partisipan aktif. Musik turun dari televisi, lalu berpindah ke layar saku—tempat siapa pun dapat mengunggah, menonton, atau menciptakan ulang.

Namun bagi para kreator, kebebasan ini datang bersama tantangan. “Setiap orang kini bisa membuat video,” kata Oleg, “tetapi tidak semua mampu membangun makna.” Momen ini mengubah karakter produksi: bukan lagi tentang siapa punya akses kamera terbaik, melainkan siapa mampu menafsirkan musik dengan jujur di tengah derasnya arus konten.

Lalu datanglah era TikTok dan media sosial yang mencacah estetika menjadi fragmen-fragmen singkat. Musik dan visual diringkas menjadi 10 atau 15 detik, cukup untuk viral namun sering kali terlepas dari narasi utuh. Menurut Abidin, ekonomi perhatian semacam ini menjadikan viralitas sebagai mata uang utama. Tetapi Oleg melihatnya dari sudut yang lebih tenang: “Video pendek itu selingan. Video musik tetap rumah.” Di tengah budaya potong-tempel, ia percaya bahwa musisi dan kreator masih memerlukan ruang visual yang lebih luas untuk bercerita, untuk memberi napas panjang pada emosi sebuah lagu.

Di Indonesia, video musik juga menjadi medan representasi identitas—terutama ketika globalisasi makin mencairkan batas estetika. Kreator lokal kini menghadapi tantangan ganda: merespons tren internasional tanpa kehilangan aroma tanah sendiri. Oleg sering menyebut bahwa video musik Indonesia harus menjadi “percakapan antara dunia dan kampung halaman,” sebuah ruang tempat modernitas dan tradisi berdampingan tanpa harus saling meniadakan.

Ke depan, teknologi seperti AI, VR, dan produksi generatif akan semakin menggeser lanskap penciptaan visual. Namun, Oleg mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat. “AI bisa membantu membuat visual,” ujarnya, “tetapi emosi manusia tetap jantungnya.” Kreativitas tidak selalu logis atau rapi; kadang kelontongan, kadang liar—tetapi justru di situlah keindahannya.

Menyadari bahwa ekosistem video musik membutuhkan ruang apresiasi yang lebih terstruktur, Oleg kini tengah bersiap menghidupkan kembali Indonesian Music Video Awards tahun depan. Baginya, penghargaan bukan sekadar seremoni, melainkan panggung penting yang menawarkan legitimasi, arsip budaya, dan motivasi bagi generasi baru kreator. “Jika kita ingin dunia video musik berkembang,” katanya, “kita harus menyediakan panggungnya.”

Melihat perjalanan lintas zaman video musik—dari MTV hingga algoritma, dari film pendek hingga potongan 15 detik—kita belajar bahwa medium ini selalu bergerak mengikuti teknologi, tetapi tetap bergantung pada tangan dan mata manusia yang menciptakannya. Melalui suara seorang kreator seperti Oleg Sanchabakhtiar, jelas bahwa masa depan video musik Indonesia bukan sekadar mengikuti arus global, tetapi membentuk caranya sendiri dalam menari bersama zaman.

Pada akhirnya, video musik adalah jejak manusia yang berusaha merangkum rasa dalam bingkai cahaya. Ia menjadi cermin zamannya—kadang gelisah, kadang megah, sering kali penuh kejutan. Namun di balik setiap transisi teknologi dan pergantian tren, selalu ada seniman yang mempertahankan nyala kecil kreativitasnya. Oleg Sanchabakhtiar dan para kreator lain adalah penjaga api itu, memastikan bahwa musik tidak hanya terdengar, tetapi juga terlihat, dirasakan, dan diingat.

Dan selama masih ada lagu yang ingin bercerita, video musik akan terus hidup—menari di antara bayang-bayang, menghubungkan mata dan telinga, menuntun kita memahami dunia dengan cara yang lebih lembut, lebih manusiawi.

Foto: istimewa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *