Urbannews | Di sudut ruang Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, 19-20 November 2025 lalu, waktu seolah berhenti sejenak. Pada dinding-dindingnya, berderet foto-foto ikonik—fragmen perjalanan panjang industri musik dunia dan Indonesia—yang terbingkai rapi seperti lembaran partitur sejarah. Setiap potret memantulkan gema masa lalu, menghadirkan kembali potret para musisi yang pernah menorehkan jejaknya dalam ingatan kolektif bangsa.
Dalam keheningan ruang itu, tak ada suara gitar maupun denting piano. Namun cerita tetap mengalir. Sebab foto-foto itu berbicara, lebih lantang dari berita, lebih jujur dari kata-kata.
Artefak visual tersebut adalah karya seorang fotografer kawakan yang namanya akrab di telinga para penggemar musik era majalah HAI: Firdaus Fadlil. Di kalangan sahabat dan pelaku industri, ia disapa Daus. Dan melalui pameran tunggal bertajuk “musicafture” dalam rangkaian Indonesia Music Summits 2025, Daus seakan tengah bermonolog—atau barangkali berdialog—dengan sejarah musik itu sendiri.
Pameran ini bukan sekadar parade foto. Ia lebih mirip ruang pengakuan, ruang pengingat bahwa foto adalah bahasa yang mampu menangkap hal-hal yang tak bisa dijelaskan dengan teks: kegelisahan seorang musisi, letupan kreativitas, senyum yang disembunyikan, atau sunyi yang tertinggal setelah sorak penonton mereda.
Para pengunjung yang datang seolah melintasi lorong waktu. Giring Ganesha, Wakil Menteri Kebudayaan, berhenti cukup lama di depan sebuah foto yang menampilkan energi panggung era 90-an. Yan Juhana, salah satu tokoh musik Indonesia, mengamati sebuah potret hitam-putih yang menyiratkan masa ketika musik lokal menggelegar tanpa bantuan algoritma.
Once Mekel, Adi Adrian, Piyu, para musisi lintas generasi lainnya, hingga fotografer-fotografer rekan seprofesi turut hanyut dalam narasi visual yang dirajut Daus. Bahkan pengunjung biasa pun larut, seolah menjadi saksi perjalanan musik yang mungkin tak pernah mereka saksikan secara langsung.
Foto-foto yang ditampilkan Firdaus Fadlil, memiliki kisah dan ceritanya sendiri bersama objek fotonya. Sebuah perjuangan tersendiri, bukan sekedar bicara teknis lewat lensa, apalagi zaman analog, kamera masih pake roll film, tapi mengatur posisi dirinya hingga mengatur gaya para musisi beken saat itu. Mulai dari festival musik terkenal sejagad raya hingga kini, Woodstock, Bon Jovi, Tommy Page, Metalica, saxofonis Dave Koz, Niki Costa, hingga Iwan Fals, Setiawan Djodi, dan musisi beken diera itu.
Di tengah hiruk-pikuk industri musik yang kini serba digital, karya-karya Daus mengingatkan kita bahwa foto adalah artefak. Ia bukan hanya dokumentasi; ia adalah bukti keberadaan, serpih sejarah, dan penanda zaman. Dalam ekosistem industri musik, foto tak ubahnya jejak kaki yang membekukan momen yang mungkin hanya berlangsung sepersekian detik—namun berdampak sepanjang usia seni itu sendiri.
Melalui musicafture, Daus menghadirkan kembali gagasan bahwa musik bukan hanya soal suara. Ia adalah rupa, gestur, cahaya, bahkan bayangan. Dan ketika suara menghilang, foto lah yang tetap tinggal, menjaga sejarah tetap hidup.
Di TIM sore itu, yang berbicara bukan hanya para musisi besar dalam bingkai—melainkan juga kamera seorang fotografer yang telah lama berdiri di barisan depan sejarah musik Indonesia.
Foto: dok.firdaus fadlil




