Urbannews | Pada suatu senja di Taman Ismail Marzuki, ketika daun-daun trembesi jatuh tanpa suara dan orang-orang mulai memenuhi lorong-lorong gedung kesenian, Indonesia Music Summit 2025 mencapai penutupnya. Tetapi bagi saya, justru di saat itulah awal dari banyak hal dimulai.
Di antara riuh percakapan yang melayang seperti asap dupa, saya menggumamkan satu kalimat — kalimat yang terasa seperti pintu kecil menuju ruang yang belum saya kenal sepenuhnya:

“Keaslian suatu gagasan adalah jati diri sebuah penciptaan. Maka, kenapa tidak membuat sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya” — Jay Subyakto
Sebuah taklimat yang ditulis Jay Subyakto pada dinding ruang’ pameran, mungkin tampak ringan, namun bagi saya ia adalah nyala kecil yang mampu mengubah arah perjalanan.
TIM dan Gema-Gema yang Tak Mau Diam
Taman Ismail Marzuki malam itu tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya para pemikir musik, seniman, penggerak budaya, dan jiwa-jiwa yang bertahan hidup lewat nada. Ia berubah menjadi sebuah perahu besar—perahu yang terbuat dari panel diskusi, percakapan panjang, dan keinginan untuk memetakan masa depan musik Indonesia.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana ruangan-ruangan di Gedung Ali Sadikin dan Teater Wahyu Sihombing menjadi semacam laboratorium jiwa. Orang datang dengan latar berbeda, namun satu benang merah menautkan semuanya: kebutuhan untuk jujur pada gagasannya sendiri.
Pada titik itu, saya merasakan keaslian adalah sesuatu yang lahir dari keberanian, bukan kelimpahan inspirasi.
Malam Disudut Jakarta, Ketika Musik Menjadi Doa
Tribute Concert Donny Suhendra yang digelar nun jauh disana menambah lapisan baru dalam batin saya. Walau saya tidak hadir dalam raga, tapi imajinasi bersua di antara cahaya panggung dan getar gitar, saya menyadari bahwa penciptaan bukan hanya perkara membangun sesuatu yang baru — tetapi memberi ruang bagi apa yang sudah ada untuk bernapas dengan cara yang berbeda.
Di tangan para musisi malam itu, sepertinya karya lama terasa seperti sungai yang menemukan percabangan baru. Tidak kehilangan aliran, tetapi menemukan arah yang tak terduga.
Saya pun bertanya kepada diri sendiri: “Bukankah keaslian juga sesuatu yang terus berubah bentuk?”
Pertanyaan yang Menjadi Jalan
Di sela-sela dialog, tawa, perdebatan, dan tatapan yang menerawang panjang, saya membawa pulang sebuah kesadaran: bahwa tidak ada penciptaan yang benar-benar selesai. Selalu ada ruang, celah, retakan kecil tempat cahaya baru dapat masuk.
Dan dari situlah lahir keberanian untuk bertanya: Apa yang belum terpikirkan oleh kita, tapi menunggu untuk diciptakan? Pertanyaan itu, bagi saya, lebih berharga dari jawaban mana pun.
Ketika TIM Menutup Pintu, Gagasan Justru Membuka Sayap
Ketika summit usai dan TIM kembali meredup, saya berjalan pelan di bawah lampu-lampu taman yang meredup seperti kunang-kunang. Suara langkah para peserta mulai jauh, tetapi di dalam kepala saya, percakapan hari itu masih keras—seperti genderang kecil yang terus memanggil.
Saya merasa: keaslian tidak akan datang kepada mereka yang menunggunya diam-diam. Ia datang kepada mereka yang berani menyelam ke ruang yang belum bernama.
Dan di malam itu, sebelum meninggalkan halaman TIM, saya mengulang lagi kata-kata Jay Subyakto:
“Keaslian suatu gagasan adalah jati diri sebuah penciptaan. Karena itu… kenapa tidak berani mencipta sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya?”
Di antara cahaya yang memudar, saya tahu: pertanyaan itu bukan penutup. Ia adalah awal dari perjalanan saya juga teman lainnya yang lebih panjang dari musik itu sendiri.
Tabik! Salam satu jiwa.
