Urbannews | Konferensi pers dan press screening Air Mata Mualaf yang digelar pada 19 November 2025 menjadi titik krusial menuju penayangan film yang sudah lama memancing rasa penasaran publik. Untuk pertama kalinya, para kreator dan jajaran pemain membedah secara jujur bagaimana film ini mengangkat tema keluarga, perbedaan keyakinan, pergulatan batin, hingga hidayah yang datang dengan cara paling tak terduga.
Sejak trailer pertama hingga kedua dirilis, publik dibawa masuk ke dua dunia yang saling berkelindan: perjalanan pencarian jati diri Anggie dan dinamika keluarga yang diuji ketika perbedaan muncul di tengah mereka. Trailer kedua yang lebih emosional memunculkan pertanyaan yang dekat dengan kehidupan banyak orang: “Apakah ini hidayah… atau pelarian dari luka yang belum sembuh?”
Tekanan batin, ketakutan kehilangan, amarah yang meledak, hingga keheningan setelah mengambil keputusan—semuanya diramu dengan pendekatan visual dan emosional yang lembut namun menghunjam.
“Bukan soal siapa benar, siapa salah”
Sutradara Indra Gunawan menegaskan bahwa Air Mata Mualaf bukan film yang dibuat untuk menggurui. “Apa yang kami tampilkan adalah manusia apa adanya: dengan rasa takut, cinta, dan keberaniannya,” ujarnya. “Setiap orang pernah berada di persimpangan hidup. Dan film ini bercerita tentang proses menuju titik itu.”
Produser Dewi Amanda menambahkan bahwa isu perbedaan keyakinan yang diangkat justru lahir dari kenyataan sehari-hari. “Perbedaan dalam keluarga sering dianggap ancaman,” katanya. “Padahal justru dari sanalah ruang belajar lahir. Jalan hidup tidak datang karena paksaan; ia datang sebagai panggilan.”
Acha Septriasa: Memerankan Keberanian yang Sunyi
Acha Septriasa, pemeran Anggie, mengungkapkan betapa peran ini membawanya pada pemahaman baru tentang keteguhan hati seorang perempuan. “Anggie memilih tanpa membenci dan melangkah tanpa marah,” tuturnya. “Ini bukan tentang meninggalkan keluarga, tetapi tentang jujur pada diri sendiri.”
Achmad Megantara, yang berperan sebagai ustaz, menyoroti perjalanan spiritual yang tidak pernah sama pada setiap orang. “Hidayah tidak bisa dijadwalkan,” ujarnya. “Ia datang kepada yang siap, bukan kepada yang dipaksa.”
Sementara itu, aktor Rizky Hanggono mengaku beberapa adegan memicu memorinya tentang keluarga. “Konflik dalam keluarga sering muncul bukan karena benci, tetapi karena takut kehilangan,” katanya.
Tanpa Antagonis, Tanpa Hitam–Putih
Dalam press screening, publik menyaksikan bahwa film ini tidak menghadirkan antagonis. Setiap karakter berjalan dengan cintanya sendiri: ada yang menjaga tradisi, ada yang mempertahankan pilihan, ada yang berusaha memahami.
Konflik terbesar bukan antara agama, melainkan antara keinginan menjaga keluarga dan kebutuhan untuk jujur pada hati.
Kolaborasi Lintas Negara
Air Mata Mualaf juga menjadi proyek kolaborasi tiga negara—Indonesia, Malaysia, dan Australia. Dengan kehadiran aktor internasional Syamim Freida, Hazman Al Idrus, dan Matthew Williams, film ini mempertegas bahwa kisah tentang pencarian makna hidup adalah bahasa universal.
Konferensi pers yang dihadiri ratusan media memperlihatkan bagaimana film ini menyentuh isu lintas generasi: relasi ibu-anak, batas antara melindungi dan mengekang, hingga pertanyaan tentang hidayah yang datang tanpa undangan.
Tidak Memberi Jawaban, tetapi Membuka Ruang Refleksi
Air Mata Mualaf tidak menawarkan kesimpulan mutlak. Sebaliknya, film ini mengajak penonton berdiam sejenak dan membuka ruang dialog di dalam diri masing-masing.
Indra Gunawan menutup: “Hidup tidak pernah selesai dalam satu jawaban. Yang ada hanyalah perjalanan.”
Film Air Mata Mualaf mulai tayang di seluruh bioskop Indonesia pada 27 November 2025 dan menyusul di Asia Tenggara serta Timur Tengah pada awal Desember.
