Urbannews | Di balik gegap-gempita panggung, ketika lampu sorot menari di atas kepala para musisi, ada kenyataan yang lebih sunyi dari jeda di tengah lagu: hidup seorang seniman kerap dibiarkan berjalan tanpa jaminan apa-apa. Ketika sakit datang, ketika musibah menimpa, ketika tubuh tak lagi sekuat suara yang pernah memenuhi ruang, mereka sering hanya mengandalkan charity dan urunan—solidaritas yang tulus, tetapi tak pernah cukup untuk menjamin sebuah kehidupan yang layak.
Padahal, industri musik bergulir dengan nilai ekonomi yang tak main-main. Pajak tontonan konser mengalir tiap malam, royalti dipungut saban tahun, dan putaran uang di sektor hiburan terus berdenyut. Namun sebagian besar tak pernah kembali pada mereka yang membuat panggung menjadi hidup. Ekosistemnya besar, tetapi akarnya tetap rapuh.
Di sinilah kebutuhan atas Dana Abadi Musik menjadi nyata: sebuah perlindungan jangka panjang bagi para pelaku musik, dari level panggung besar hingga kamar-kamar kecil tempat karya lahir dalam kesunyian. Dana abadi berarti memastikan ketika musisi sakit, terluka, atau memasuki usia renta, mereka punya sandaran yang pasti—bukan sekadar berharap belas kasih.
Selain itu, ada satu ironi lain yang jarang disentuh: asuransi tenaga kerja untuk seniman, termasuk musisi, hingga hari ini belum benar-benar menyentuh akar rumput. Programnya ada, regulasinya disusun, tetapi pergerakannya seperti langkah yang menunggu, bukan menjemput. Para pekerja seni yang hidup dari panggung kecil, honor harian, atau sistem bagi hasil, jarang sekali merasakan manfaatnya. Mereka tidak disapa, tidak dijelaskan, dan tidak dipandu untuk masuk ke sistem perlindungan yang sebenarnya bisa memberi mereka napas panjang. Sementara risiko dalam pekerjaan seni—keamanan panggung, perjalanan, kesehatan mental, kelelahan fisik—terbilang tinggi.
Kesenjangan inilah yang membuat gagasan dana abadi semakin penting. Sebab jika mekanisme perlindungan negara belum mampu menjangkau sampai ke lorong-lorong tempat musisi akar rumput bertahan hidup, maka industri harus punya instrumen yang independen, kuat, dan permanen. Instrumen yang berdiri untuk mereka, bukan menunggu mereka datang dalam keadaan terpuruk.
Musik telah terlalu lama menjadi komoditas yang menghibur bangsa, tetapi para pelakunya belum pernah benar-benar merasa aman. Jika royalti tak kembali pada pencipta, jika pajak tontonan tak memberikan ruang aman, dan jika asuransi pekerja seni tak turun dari menara kebijakan ke tanah tempat para musisi hidup, maka kita hanya membiarkan industri ini berjalan dengan antitesisnya sendiri: gemerlap di depan, gelap di belakang.
Dana abadi adalah upaya mengembalikan keadilan. Memberi rumah pada nada-nada yang selama ini menopang hidup banyak orang, agar para penciptanya juga punya kesempatan untuk hidup lebih layak—tanpa khawatir kapan panggung berikutnya datang, atau kapan tubuhnya menyerah.
Pada akhirnya, masa depan musik ditentukan oleh bagaimana kita menjaga seluruh musisinya—dari mereka yang bermain di panggung besar hingga yang bertahan di sudut-sudut kecil kota. Jika dana abadi dan perlindungan tenaga kerja benar-benar hadir dan merata, barulah industri ini bisa berdiri utuh tanpa meninggalkan siapa pun. Sebab ekosistem musik yang sehat lahir ketika setiap pelakunya, tanpa kecuali, dijaga martabat dan keberlanjutannya.
Sebab bangsa yang menghargai musiknya bukan hanya bangsa yang menonton konser, tetapi bangsa yang menjaga para penciptanya tetap tegak, bahkan ketika lampu panggung telah padam.





https://shorturl.fm/IFnUC