Trodon di Wangsa Timoer: Wangsitnya untuk Bertahan di Jalur Musik Tidak Populer

Urbannews | Di sebuah sudut Jakarta Selatan, tepatnya di Wangsa Timoer, Blok A, Fatmawati, pada Kamis malam (13/11), ruang kecil bernama Cari Wangsit berubah menjadi gerbang tak terlihat menuju dua semesta: dunia nyata dan dunia fantasi. Pada malam itu, Trodon Band berjalan di jalan setapak yang oleh banyak musisi mungkin dianggap terlalu sempit—small gig yang intim, sunyi, namun justru di situlah gema masa depan kerap menyelinap.

Trodon tidak hadir sebagai band yang sekadar memamerkan teknik atau kompleksitas progresif rock instrumental. Mereka datang sebagai pembawa kabar—sebuah pesan, atau mungkin wangsit—bahwa musik progresif di Indonesia belum padam; ia hanya menunggu ruang untuk kembali bersuara. Dan ruang itu, betapapun kecil, telah mereka buka sendiri.

Ketika nada-nada progresif mereka mengalir, penonton serasa diajak menyeberangi jembatan imajiner menuju lanskap yang bergerak antara kenyataan dan dunia paralel penuh visual abstrak. Ada gradasi perasaan yang tak mudah dijelaskan: betapa progresif menyentuh ranah filsafat musik, betapa ia bekerja seperti alur mimpi yang tidak selalu linear namun selalu membawa makna.

Di sudut ruangan, tampak keyakinan yang tidak berisik: Trodon yang ditunggangi Biondi Noya (gitar), Prilla (bass), Bistok (drum), dan Benita (keyboardist) yang sedang cuti, percaya bahwa kepopuleran dan kesuksesan bukan sesuatu yang dikejar dengan cara menunggangi arus. Ia akan datang sendiri kepada mereka yang konsisten menapaki jalur sunyi. Dan Trodon memilih jalur itu—wilayah yang tidak populer, tapi justru karena itu, penuh kebebasan.

Industri musik Indonesia mungkin masih minim apresiasi untuk genre yang dianggap “tidak ramah pasar”. Namun malam itu, di bawah lampu temaram, Trodon memberi satu pesan yang tajam namun lembut: musik progresif bukan sekadar genre, ia adalah literasi; cara memahami dunia lewat struktur, improvisasi, dan keberanian menolak keseragaman.

Mungkin inilah wangsit-nya: bertahanlah. Karena musik, seperti wahyu, selalu menemukan mereka yang setia merawatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *