Urbannews | Dalam khazanah Jawa, wangsit bukan sekadar bisikan gaib. Ia adalah pertanda, panggilan batin yang datang dari jagat rasa menuju jagat laku — sebuah ilham yang menuntun manusia agar kembali pada keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa. Dalam kehidupan, wangsit sering hadir di tengah keheningan; seperti nada yang tiba-tiba menyelinap di telinga seorang musisi yang tengah mencari makna dari suaranya sendiri.
Dalam konteks modern, wangsit bisa dimaknai sebagai momen pencerahan kreatif. Sebuah inspirasi yang datang di antara senyap, di sela denting gitar atau gema drum, ketika musisi menemukan makna terdalam dari bunyi yang ia ciptakan. Dan di situlah “Cari Wangsit ke-7” menemukan ruhnya, sebagai perhelatan musik dan dialog kreatif yang berupaya menangkap kembali denyut ilham di antara kebisingan zaman.
Acara yang pada hari Kamis (13/11) malam, menghadirkan tiga band penampil: Get Lost, Trodon, dan Minggu — masing-masing membawa warna bunyi dan jiwa yang berbeda, namun berkelindan dalam satu arus pencarian makna lewat musik. Di panggung ini, para musisi tidak sekadar tampil, melainkan menempuh laku mencari: mencari makna, jati diri, dan arah suara yang sejati. Sebab dalam filosofi Jawa, srawung lan swara (berteman dengan suara) adalah cara manusia menyatukan dirinya dengan semesta.
Sebelum lantunan gitar dan dentum drum mengisi udara, malam dibuka dengan Creative Talk bertajuk “Goes International” bersama Kongko Bangun Pambudi (Gitar/Vokalis) Electric Cadillac, band blues-rock asal Jakarta, yang dipandu oleh Safir Bianginda. Di sesi ini, percakapan menjadi pembuka rasa — ruang tempat ide dan pengalaman bertemu, seperti halnya nada dan kata yang saling berpantulan di antara lampu panggung.
Menurut Emmy Tobing, penggagas acara, Cari Wangsit bukan sekadar konser musik, melainkan ruang olah rasa. “Kami ingin menghadirkan panggung tempat musik menjadi perantara ilham — bukan hanya hiburan, tapi penjelajahan batin,” ujarnya.
Dan benar, di setiap dentum lagu terasa semacam mantra yang diucap bersama. Ada nada yang lembut dan menenangkan, mengingatkan pada gamelan yang berdenting di malam bulan purnama. Ada pula bunyi yang garang dan gelisah, seperti peringatan tentang dunia yang kian riuh oleh keserakahan. Namun di balik ragam itu, mengalir satu benang merah: pencarian kejujuran dalam berkarya.
Sebagaimana orang Jawa memaknai wangsit sebagai panggilan untuk bertindak dengan bijak. Di tangan musisi, getar bunyi bisa menjadi wahyu rasa—sebuah jalan sunyi menuju terang. Maka, “Cari Wangsit” adalah ajakan untuk mendengar lebih dalam: bukan hanya suara dari panggung, tapi gema yang bersumber dari dalam diri.
Bagian dialog dalam acara ini menjadi pamedhar rasa — ruang berbagi ilham di mana pemikiran bertemu getar hati. Penonton bukan hanya menjadi pendengar, tetapi penafsir; diajak merenungi bahwa barangkali wangsit tak selalu turun dari langit, melainkan bisa lahir dari sahutan manusia kepada sesamanya melalui getaran musik.
“Cari Wangsit ke-7” pada akhirnya menjadi semacam suluk modern — perjalanan mencari kebenaran di tengah kebisingan zaman. Di panggung ini, filsafat Jawa menemukan bentuk barunya: bukan lagi lewat tembang macapat, melainkan melalui distorsi gitar dan harmoni vokal yang menyala. Sebuah pengingat halus bahwa wangsit bisa datang dalam rupa apa pun, selama hati masih terbuka menerima getarannya.
Sebab sejatinya, musik — seperti juga wangsit — bukan untuk didengar semata. Ia untuk dirasakan, dipahami, dan dijalani.




