All You Can Hear Gigs Road to Vol 2: Kala Musik Dijaga, Ketika Nada Menemukan Rumahnya

Urbannews | Langit Jakarta belum sepenuhnya gelap jatuh ke peraduan ketika petikan gitar pertama menggema di halaman Kala Di Kalijaga, Jakarta Selatan, Selasa (11/11) itu. Di bawah lampu-lampu kuning yang bersilang di antara pepohonan yang meneteskan cahaya lembut, orang-orang duduk merapat dalam keheningan yang hangat—sebuah momen ketika musik tak sekadar terdengar, tapi terasa.

Di tengah hiruk pikuk kota yang jarang memberi ruang untuk berhenti, acara bertajuk “All You Can Hear Gigs – Road to Vol. 2” menghadirkan jeda yang indah. Kolaborasi antara All You Can Hear dan SWAG Event ini tak menampilkan kemegahan, melainkan kedekatan. Tak ada batas antara panggung dan penonton—hanya udara yang dipenuhi tawa, tepuk tangan, dan napas yang menyesap nada dengan pelan.

“Kami ingin orang datang bukan hanya untuk menonton, tapi untuk merasakan,” ujar Rian ‘Ncek’ Kampua, perwakilan SWAG Event, kala senja menyeruak dalam jeda menuju malam, sambil memandangi panggung kecil yang baru saja ditata. “Musik itu pengalaman, bukan tontonan.”

Riff, Rasa, dan Cerita yang Menyala

Malam dibuka oleh Gugun Blues Shelter, dan seperti selalu, blues datang bukan sebagai genre, tapi sebagai jiwa. Petikan gitar Gugun membelah udara—tajam, jujur, kadang seperti luka yang enggan disembuhkan. Penonton tak hanya bersorak; mereka terbawa, seolah setiap nada memanggil kenangan yang mereka simpan sendiri-sendiri.

Setelah gelombang blues itu surut, Frangky Indrasmoro—mantan drummer Naif—melangkah ke depan. Ia tak hanya memegang stik drum, melainkan menalukan birama dan kata-kata. Musiknya mengalir seperti obrolan panjang dengan diri sendiri; melankolia yang tidak muram, tapi meneduhkan.

Lalu Sandy Canester datang membawa nostalgia—dengan lagu-lagu cinta yang pernah tumbuh di masa radio masih jadi teman malam. Ia bernyanyi, penonton ikut, dan di antara lampu yang temaram, setiap suara bersatu menjadi paduan rasa yang sulit dijelaskan.

Gelombang Baru dari Dadali, Broder Bong, Fearless, dan Band Om Om

Seiring malam menua, giliran empat nama yang menyalakan semangat baru: Dadali, Broder Bong, Fearless, dan Band Om Om.

Dadali tampil dengan energi khas pop melankolis yang mereka usung sejak awal kemunculan. Lagu-lagu mereka, yang akrab di telinga banyak orang, mengundang nyanyian massal dari barisan depan. Ada semacam nostalgia yang hangat—tentang masa-masa ketika lirik sederhana bisa menenangkan hati yang retak.

Dari pop yang lembut, suasana bergeser lebih liar bersama Broder Bong. Band ini membawa aroma reggae dan ska yang membuat penonton tak bisa diam. Ritme mereka mengguncang halaman Kala Di Kalijaga, menciptakan gelombang tubuh yang bergerak bersama irama. Musik mereka tidak hanya menghibur, tapi juga membebaskan.

Lalu Fearless datang dengan warna rock alternatif yang padat dan tajam. Dentuman bass dan teriakan vokal mereka menjadi ledakan energi di tengah malam yang mulai dingin. Mereka tidak banyak bicara di atas panggung, tapi setiap lagu menjadi pernyataan: jujur, keras, dan penuh nyawa.

Sebagai penutup, Band Om Om hadir dengan format paling cair malam itu. Mereka membawa semangat jam session—campuran humor, spontanitas, dan musikalitas yang matang. Dari lagu-lagu lawas hingga aransemen bebas, Band Om Om menjadi perekat suasana; membuat semua orang, tanpa kecuali, larut dalam tawa dan nada.

“Saya datang sendirian, tapi rasanya kayak punya seribu teman di sini,” kata Asora, seorang musisi sekaligus penonton yang masih tersenyum setelah ikut menari di pinggir sebelah kiri panggung. “Musiknya hidup banget. Ini bukan sekadar gigs, tapi kayak perayaan kecil.”

Kala Di Kalijaga, Kala Dihidupi

Malam di Kala Di Kalijaga terasa seperti rumah yang baru ditemukan. Tempat di mana orang bisa menaruh lelahnya, lalu membiarkan musik menenangkan dengan cara yang tak pernah berlebihan. Tak ada pretensi. Tak ada pencitraan. Hanya suara yang tumbuh dari hati dan kembali ke hati.

All You Can Hear Gigs – Road to Vol. 2 dan SWAG Event tampak memahami satu hal penting: bahwa musik tak perlu panggung besar untuk menjadi berarti. Kadang, cukup satu halaman, satu lampu, dan sekelompok orang yang datang bukan untuk mencari sensasi, melainkan ketulusan.

“Kami ingin konsep ini hidup di banyak kota,” ujar Ferdy Tahier, sipemilik acara. “Ini baru jalan menuju Vol.2, dan setiap perhentian akan punya cerita sendiri.”

Suara yang Tak Pernah Padam

Ketika lampu panggung akhirnya meredup, tak ada tanda bubar yang nyata. Orang-orang masih bertahan; sebagian menatap langit, sebagian berbincang pelan. Musik telah usai, tapi suasananya belum benar-benar pergi. Ia menempel di udara seperti aroma kopi yang tertinggal di cangkir.

Semalam bersama All You Can Hear Gigs – Road to Vol. 2 bukan sekadar pentas musik. Ia adalah pengingat bahwa suara—sekecil apa pun—bisa menyalakan sesuatu di dalam diri: kenangan, harapan, atau mungkin cinta yang belum sempat diucapkan. Di Kala Di Kalijaga, musik tidak sekadar didengar. Ia dihidupi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *