Anugerah FFW 2025 untuk Ipik Tanoyo: Warisan Abadi di Dunia Jurnalisme dan Sinema Indonesia

Ipik Tanoyo menerima Anugerah Pengabdian Seumur Hidup di Festival Film Wartawan 2025, dari Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir, Minggu (9/11) di Lagoon Garden Hall-The Sultan Hotel, Jakarta.

Urbannews | Di bawah sorot lampu yang lembut dan hangat, malam puncak Festival Film Wartawan 2025, Minggu (9/11) di Lagoon Garden Hall-The Sultan Hotel, Jakarta, bukan sekadar perayaan karya sinema, melainkan juga ruang penghormatan bagi mereka yang setia menulis sejarah di balik layar industri film. Di antara tepuk tangan panjang dan wajah-wajah penuh haru, satu nama menggema dengan wibawa dan nostalgia: Ipik Tanoyo — wartawan senior yang menerima Anugerah Pengabdian Seumur Hidup Bidang Pers.

Ia berdiri di panggung dengan langkah perlahan namun pasti. Di matanya, terpancar cahaya yang telah menempuh ribuan kisah: dari ruang redaksi yang riuh oleh denting mesin ketik, hingga set film yang berdebu namun penuh pesona. Bagi Ipik Tanoyo, jurnalisme bukan sekadar profesi — ia adalah napas kebudayaan, jembatan antara realitas dan layar, antara kata dan gambar bergerak.

Malam itu, penghargaan terasa lebih dari simbol. Ia adalah penanda lintasan sejarah: bahwa dunia film Indonesia tidak pernah berdiri sendiri tanpa pena para wartawan yang mencatat, mengulas, dan menyalakan percakapan publik tentangnya. Di balik setiap debut sutradara muda, di sela kritik tajam terhadap film nasional, ada sosok seperti Ipik Tanoyo — yang dengan dedikasi tanpa pamrih menjaga dialog antara sinema dan masyarakat tetap hidup.

Pria kelahiran Bumiayu, Jawa Tengah pada 12 September 1953, yang nyaris menjadi penyanyi seriosa ini, tahun 70-an sudah jadi Wartawan Aktuil, media musik legend, berikutnya menjadi reporter Jakarta untuk harian Bali Post. Setelah menerima Anugerah berupa piala dari Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir, Ipik Tanoyo betutur.

“Menulis film itu bukan hanya menulis tentang cerita di layar, tapi tentang denyut manusia yang ingin dimengerti,” ujarnya suatu ketika, dalam nada lirih tapi bergetar. “Film mengajarkan saya untuk memahami emosi, tapi jurnalisme mengajarkan saya untuk memahami kebenaran. Dua-duanya menuntut hati yang jujur.”

Festival Film Wartawan 2025 malam itu terasa seperti rumah bagi dua dunia yang saling berpelukan: dunia jurnalisme dan dunia sinema. Lampu-lampu, musik, dan tawa berpadu dalam satu kesadaran bahwa apresiasi sejati tidak hanya untuk mereka yang tampil di depan kamera, tetapi juga bagi mereka yang menulis dalam senyap di balik layar.

Ipik Tanoyo mungkin tak lagi sering tampak di barisan depan konferensi pers film atau ruang pemutaran perdana. Namun, warisannya terus hidup di setiap tulisan wartawan muda yang belajar menatap layar dengan nurani, bukan sekadar selera.

Dan ketika malam itu berakhir dengan tepuk tangan yang menghangatkan ruangan, seolah semua orang sadar: sinema dan pers adalah dua sisi dari satu cermin besar — yang saling memantulkan makna, menjaga agar bangsa ini tak lupa pada cerita-ceritanya sendiri.

Sebelum turun dari panggung, Ipik menatap para jurnalis muda yang hadir malam itu. Ia tersenyum, lalu berkata pelan — sebuah kalimat yang akan lama diingat mereka yang mendengarnya: “Kita ini penjaga cahaya. Film boleh meredup, berita bisa terlupa, tapi selama kita menulis dengan kejujuran, layar itu takkan pernah benar-benar gelap.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar

News Feed