Urbannews | Di tengah riuhnya zaman yang kian gaduh oleh perbedaan, sekelompok insan berinisiatif mengubah nada perpecahan menjadi harmoni kebersamaan. Pada 21 November 2025, Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bersama Yayasan Tirta Bersemi, berkolaborasi dengan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), akan menggelar Festival Band Berani Beda — sebuah panggung perjumpaan bagi musisi lintas iman, ras, dan generasi.
Nada Universal di Tengah Batas Identitas
Indonesia, negeri yang menampung 1.340 suku dan 718 bahasa daerah, adalah sebuah orkestra raksasa yang jika dimainkan dengan kesadaran bisa melahirkan simfoni kebudayaan tak ternilai. Namun, dalam satu dekade terakhir, orkestra itu kadang sumbang. Letupan intoleransi muncul di berbagai tempat, memecah harmoni yang mestinya menjadi kekuatan bangsa.
Teknologi komunikasi yang kian personal menambah jurang keterasingan. Kita lebih sering berjumpa di layar, bukan di ruang. Kita lebih banyak bicara, tapi jarang mendengarkan. Di titik inilah Festival Band Berani Beda ingin hadir — bukan sekadar ajang musik, melainkan ruang perjumpaan yang menyalakan kembali semangat kebersamaan dalam perbedaan.
Musik: Bahasa yang Melampaui Agama dan Warna Kulit
“Musik adalah bahasa universal. Ia bisa menembus batas keyakinan dan budaya,” ujar Olga Lydia, koordinator kegiatan ini. Menurutnya, panggung musik adalah tempat yang paling jujur untuk saling memahami tanpa harus menyamakan. “Ruang-ruang seperti ini penting untuk meredam gejolak intoleransi,” tambahnya.
Festival ini membuka kesempatan bagi band dari seluruh Indonesia, tanpa batas usia. Syaratnya sederhana namun bermakna: setiap band harus beranggotakan minimal tiga dan maksimal sembilan orang, dengan setidaknya satu perbedaan agama di antara mereka. Lebih kaya lagi jika ada perbedaan suku, budaya, atau generasi di dalamnya.
Nada Nasionalisme dan Cipta Kreasi
Setiap band akan membawakan dua lagu. Lagu pertama wajib diambil dari khazanah lagu nasional — semisal Tanah Airku karya Ibu Soed, Indonesia Pusaka ciptaan Ismail Marzuki, atau Dari Sabang Sampai Merauke karya R. Soerarjo. Lagu kedua bebas: bisa lagu ciptaan sendiri atau lagu daerah.
“Dengan lagu nasional, kita diingatkan kembali pada akar yang sama: Indonesia,” ujar salah satu panitia. “Sedangkan lagu kedua memberi ruang bagi kreativitas, identitas, dan warna lokal.”
Dari Dunia Maya ke Panggung Nyata
Pendaftaran dibuka gratis melalui Google Form di http://forms.gle/Zqf3YzuByByFoBCZ7. Peserta diminta menulis narasi singkat tentang latar belakang band dan makna lagu yang mereka pilih.
Babak penyisihan dilakukan secara daring — peserta mengunggah video ke YouTube dan mengirimkan tautannya ke panitia, atau melalui email festivalberanibeda@gmail.com paling lambat 10 November 2025. Dari seluruh peserta, akan dipilih tujuh band finalis yang akan tampil secara langsung di Jakarta pada 21 November 2025.
Total hadiah sebesar Rp30 juta disediakan untuk tiga pemenang terbaik. Namun lebih dari sekadar hadiah, festival ini menjanjikan perjumpaan yang tak ternilai: sebuah pengalaman berbagi nada dalam keberagaman.
Informasi lengkap dapat diikuti melalui Instagram @festivalberanibeda atau Facebook Festival Berani Beda, serta nomor kontak 0811 8110 022.
Nada Penutup: Musik Sebagai Ruang Doa Bersama
Dalam nada dan irama, manusia tak lagi dipisahkan oleh agama, ras, atau generasi. Di antara denting gitar dan ketukan drum, kita bisa menemukan kesamaan paling mendasar: kemanusiaan. Festival Band Berani Beda bukan sekadar kompetisi. Ia adalah doa bersama — yang dinyanyikan dalam bahasa universal: musik.
