Urbannews | Pada Sabtu sore yang berdenyut cepat di Jakarta, tepatnya 11 Oktober, udara di Concert Hall Chic’s Music, Rawangun, Jakarta, tidak hanya dipenuhi oleh suara dentuman drum dan petikan gitar, tapi juga oleh getar kebersamaan lintas negara. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, sebuah nama muncul, bukan sekadar band, tapi gerakan musikal: Fearless.
Empat nama besar dari dua negeri—Fathan Criss dari Malaysia (Criss-X), dan Edo Widiz, Arya Setyadi, serta Rere dari Indonesia (masing-masing dari Voodoo, God Bless, dan Grassrock)—menyatukan suara mereka. Mereka datang bukan hanya untuk memainkan musik, tapi membawa sebuah pesan: musik tidak mengenal batas negara, tidak dibatasi bendera, hanya disatukan oleh irama dan semangat.
Dengan mengusung tajuk “Ngeband Lintas Negara: Menyatukan Visi & Ambisi Bersama”, Fearless menghadirkan lebih dari sekadar pertunjukan. Mereka menjahit edukasi, hiburan, dan kolaborasi dalam satu panggung.
Namun kali ini, panggung Fearless hadir dengan wajah baru: bukan hanya konser, tapi edutaiment—perpaduan edukasi dan hiburan. Rere, sang penggebuk drum yang biasa menjadi penggerak ritme, berhalangan hadir karena kesibukan di luar kota. Kekosongan itu diisi oleh Erik, drummer muda yang mengisi ruang dengan energi segar.
Tidak hanya membawakan lagu-lagu penuh semangat, personil Fearless membuka ruang diskusi. Mereka berbagi rahasia dapur: gear, efek, filosofi bermain, hingga cara mereka mengaransemen lagu. Ini bukan sekadar panggung satu arah, tapi ruang interaktif. Penonton yang mayoritas Gen Z dan Gen Alpha tak sekadar melihat, tapi juga ikut mencicipi dunia panggung—mencoba alat musik, menjajal efek suara, bahkan naik ke atas panggung untuk menjawab tantangan membawakan lagu “Chaos – Break The Rule”.
Yang tak diduga, beberapa dari mereka sudah menguasai lagu tersebut. Dengan percaya diri, mereka mengambil posisi di atas panggung, dan memainkan lagu layaknya musisi panggung profesional. Di situlah, sejenak, batas antara penonton dan musisi mengabur. Yang tersisa hanyalah semangat—fearless.
Malam itu, bukan hanya Fearless yang membakar panggung. Candra Kim, Mita Palupi, dan Nyoto Rock—tiga nama dari tanah air—ikut menyalakan bara. Mereka tidak sekadar tampil, mereka memuntahkan jiwa mereka lewat suara dan aksi panggung yang memukau. Setiap performa adalah testamen bahwa Indonesia tidak kekurangan talenta berbakat.
Sementara itu, Delta Musik, distributor alat musik, ikut menyemarakkan suasana dengan membagikan hadiah—dari stik drum hingga efek gitar—kepada penonton yang aktif bertanya atau menerima tantangan musikal dari Fearless.
Dan di tengah semua itu, ada satu pesan yang menggema: musik adalah bahasa yang melintasi negara, menyatukan semangat, dan menembus batas-batas identitas.
Malam itu, Chic’s Music bukan sekadar tempat manggung. Ia menjelma menjadi ruang sakral di mana semangat dua budaya—Indonesia dan Malaysia—bertemu dan berpadu. Setiap dentuman drum, petikan gitar, dan tarikan suara adalah jembatan. Sebuah pernyataan pun keluar dari sang pemilik Chic’s Music, Jemmy bersama sang anak Gladys, bahwa dunia musik sedang bergerak menuju kolaborasi yang lebih terbuka, lebih berani—lebih fearless.
Bagi mereka yang hadir, konser ini bukan hanya tontonan. Ia adalah pengalaman lintas batas, pengalaman musikal yang mengajarkan bahwa keberanian terbesar adalah membuka diri—untuk berbagi, belajar, dan mencipta bersama.