Urbannews | Di tangan generasi baru—Gen-Z dan Gen-A—musik tak lagi berdiri di atas panggung megah atau di balik label besar. Ia hidup di saku celana, di layar kecil yang menyala sepanjang hari, di antara jari-jari yang menggulir TikTok atau Spotify. Musik kini bukan lagi tontonan, melainkan teman bicara yang menyelinap di sela aktivitas, jadi penenang kala gelisah, atau pengiring saat sedang mencari makna.
Mereka tak mengidolakan satu genre, karena batas-batas itu telah lama mereka hancurkan. Dalam satu playlist, bisa bersanding indie pop Nadin Amizah, emo trap Juice WRLD, retro groove NewJeans, hingga bedroom pop Boy Pablo. Dunia musik mereka cair—seperti algoritma yang menyesuaikan suasana hati. Hari ini penuh warna pastel dan nostalgia 2000-an, esok bisa muram dalam nada-nada minor dan gumam lirih dari musisi anonim yang mereka temukan di SoundCloud atau YouTube.
Gen-Z dan Gen-A menyukai musik yang autentik, yang terasa seperti curahan hati, bukan buatan pabrik. Mereka ingin mendengar kesalahan kecil dalam vokal, napas yang tertangkap mikrofon, atau bunyi gesekan senar yang tak disamarkan. Bagi mereka, itu bukan cacat, melainkan kejujuran.
Musik kini tak lagi butuh studio dengan akustik sempurna—cukup kamar tidur dengan lampu temaram dan laptop. Dari ruang sepi itu lahir gelombang baru yang mengubah wajah industri: musisi kamar yang tiba-tiba mendunia tanpa promosi besar. Fenomena Do It Yourself bukan sekadar tren, tapi semacam perlawanan lembut terhadap dominasi industri besar.
Lihatlah NewJeans, dengan warna pop retro dan visual estetika 90-an, yang terasa segar namun akrab. Atau Nadin Amizah, yang menulis lirik seperti surat terbuka untuk semesta dan diri sendiri. Lalu ada Boy Pablo yang memeluk kesunyian dengan gitar dan ketulusan yang ringan. Mereka semua berbicara dalam bahasa yang sama—bahasa kejujuran, keintiman, dan koneksi emosional yang tak perlu dipaksa.
Di sisi lain, algoritma menjadi semacam kurator tanpa wajah. Musik yang viral tak selalu karena promosi, melainkan karena “relate.” Sepotong lirik yang menyentuh, potongan melodi yang cocok dengan video hujan atau kenangan masa SMA, bisa jadi pengantar ketenaran. Generasi ini mendengarkan musik bukan sekadar lewat telinga, tapi lewat emosi kolektif—yang bergetar bersamaan di kolom komentar.
Musik, bagi mereka, adalah bentuk kebersamaan yang tak membutuhkan tatap muka. Sebuah ruang digital tempat luka, cinta, dan tawa saling bertaut tanpa nama.
Dan di tengah kecepatan dunia yang terus berputar, generasi ini mengajarkan sesuatu: bahwa teknologi mungkin mengubah cara kita menemukan musik, tapi tidak pernah bisa menghapus alasan mengapa kita mencintainya.
Karena di balik semua notifikasi dan algoritma, musik tetaplah bahasa paling manusiawi—tempat di mana hati masih bisa berdialog dengan sunyi.