Urbannews | Pada akhirnya, film bukan sekadar gambar bergerak yang memantul di layar putih. Ia adalah cermin dari zaman yang tak pernah benar-benar diam. Begitulah yang terasa di Festival Film Wartawan 2025, ketika ruang gelap bioskop tiba-tiba menjadi terang oleh refleksi zaman yang direkam lewat karya para jurnalis—mereka yang sehari-hari menulis realitas, kini menafsirkannya dengan bahasa sinema.
Tahun ini, festival bukan hanya menayangkan film. Ia menayangkan kesadaran kolektif. Setiap judul membawa gugus waktu—tentang memori, tentang krisis, tentang cinta yang terluka oleh keadaan. Ada film yang menyoal kemanusiaan di tengah polarisasi, ada pula yang menggugat lupa lewat arsip dan suara-suara kecil yang terpinggirkan. Semua berbicara dalam nada yang sama: bagaimana film tetap relevan di tengah perubahan yang begitu cepat, di mana algoritma sering kali lebih berkuasa daripada nurani.
Di lobi, percakapan antarjurnalis menyerupai diskusi panjang tanpa moderator. “Film sekarang harus punya fungsi sosial,” ujar seorang jurnalis senior dengan suara serak karena rokok dan usia. “Tapi jangan lupa, fungsi estetika juga bagian dari tanggung jawab sosial itu,” sambung yang lain. Begitulah—dialog seperti ini menjadi ruh festival, ketika film bukan hanya tontonan, melainkan tulisan yang hidup, yang bisa diputar, didengar, dan dirasakan bersama.
Salah satu film yang diputar malam itu menangkap getir kehidupan tentang kisah pertemuan kembali antara anak dan ayah kandungnya setelah 16 tahun berpisah mengundang haru. Dalam cerita perjuangan sang anak mencari sang ayah yang hilang kontak sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Perjalanan panjang itu berujung manis berkat bantuan seorang Wartawan lewat tulisannya. Layar pun serasa berubah menjadi lembaran berita yang basah air mata. Di sela tepuk tangan, ada kesadaran baru bahwa wartawan bukan hanya penulis fakta, tapi juga penjaga nurani zaman—yang merekam, merenungi, dan mengingatkan.
Festival Film Wartawan 2025 tidak sedang mencari siapa terbaik. Ia sedang mencari siapa yang paling jujur. Karena dalam kejujuran, film menemukan relevansinya. Ia tidak perlu mengikuti tren, cukup setia pada waktu yang ia wakili. Dalam setiap sorot kamera yang sederhana, kita menemukan potret masa kini yang kadang lebih tajam dari laporan utama halaman depan.
Di akhir pemutaran, ketika lampu menyala dan layar kembali kosong, terasa bahwa relevansi film bukan pada temanya, melainkan pada kemampuannya berdialog dengan kenyataan. Zaman boleh berubah, teknologi boleh mempercepat segalanya, tapi film yang jujur akan selalu menemukan jalannya—seperti jurnalis yang tak pernah berhenti menulis, walau tinta sering habis di tengah perjuangan.
Festival ini pun menegaskan satu hal: bahwa film, sejatinya, adalah catatan waktu yang tak bisa ditipu. Dan di tangan para wartawan, ia menjadi bukan sekadar hiburan, tapi peringatan—tentang siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana nurani akan berjalan setelah layar kembali gelap.