Urbannews | Di balik denting nostalgia dan irama klasik yang dulu memenuhi udara Nusantara, tersembunyi cerita panjang tentang semangat, perjuangan, dan kehilangan arah dalam industri musik Indonesia. Dari studio Lokananta, gema Orkes Gumarang, hingga digitalisasi yang menggerus nilai-nilai cipta dan etika dagang, perjalanan ini menjadi kisah penting yang perlu kita dengarkan kembali — kali ini lewat narasi seorang putera bangsa, Moh Budiman Tamimi, Ph.D., pewaris label legendaris DIMITA Records. Bersamanya, ada pula sosok Harry Koko Santoso, pendiri Deteksi Production, yang tak pernah lelah menggali dan merawat denyut sejarah musik Indonesia melalui panggung dan ruang apresiasi yang ia hidupkan sejak era keemasan musik tanah air.
Di tengah arus deras modernisasi dan perubahan teknologi, ada narasi yang pelan-pelan tenggelam — kisah tentang semangat awal musik Indonesia. Cerita ini bukan hanya tentang lagu, tetapi tentang identitas, perjuangan, dan nilai-nilai luhur yang dibangun di atas nada dan kata. Salah satu saksi sekaligus pewaris kisah tersebut adalah Moh Budiman Tamimi, Ph.D., putera dari pendiri label rekaman legendaris, DIMITA Records.
DIMITA, bersama Lokananta dan Irama, adalah tiga pilar awal yang menopang industri musik Indonesia pada dekade 1950 hingga awal 1960-an. Di masa ketika alat rekam masih sederhana dan distribusi bergantung pada tangan-tangan manual, mereka melahirkan karya-karya monumental. Mulai dari Koes Bersaudara volume 1 SD 7, Orkes Gumarang, Elya Khadam, hingga nama-nama seperti Jack Lesmana, Yos Elshinta, dan Orkes Gambus.
Namun, seperti kata sejarah, tidak semua kisah indah berakhir manis. Perjalanan musik Indonesia kemudian memasuki masa transisi — dari piringan hitam (vinyl) ke kaset pita, lalu ke compact disc (CD), hingga akhirnya larut dalam era digital streaming. Di tengah euforia kemajuan teknologi ini, ada hal-hal penting yang tergerus: lemahnya perlindungan karya cipta dan buramnya etika dagang.
Moh Budiman Tamimi dengan getir mengenang bagaimana industri yang dahulu penuh semangat kolektif kini bergeser menjadi ajang komersialisasi yang kerap mengabaikan akar dan etikanya. Banyak warisan musik — termasuk karya-karya Gumarang dan generasi penerusnya seperti Boy G Sakti — tak bisa terus tumbuh karena tidak adanya sportivitas antar label dan ketidakadilan dalam distribusi produk musik oleh para pedagang vinyl.
“Semangat berkarya dahulu itu bukan soal untung semata,” ujarnya, “tetapi bagaimana musik bisa menjadi identitas, menjadi jembatan budaya, menjadi penyatu bangsa.”
Label seperti DIMITA bukan hanya merekam musik; mereka merekam zaman. Mereka menyimpan denyut jantung Indonesia dari masa ke masa. Namun kini, di tengah banjir konten digital dan algoritma, karya-karya itu nyaris tak terdengar, tenggelam di balik layar ponsel dan platform musik asing.
Dalam konteks ini, hadir pula nama Harry Koko Santoso, pendiri Deteksi Production, yang telah menjadi pionir dalam memperjuangkan ruang hidup bagi musik Indonesia melalui konser, festival, dan panggung-panggung yang konsisten membesarkan talenta lokal. Lewat Deteksi, ia tak hanya menjadi penggerak skena musik, tetapi juga pengarsip semangat zaman — menjadi jembatan antara generasi, dan menjaga agar suara-suara sejarah tidak menghilang ditelan waktu.
Lalu, ke mana kita harus kembali?
Mungkin jawabannya ada di semangat yang dibawa Moh Budiman Tamimi dan Harry Koko Santoso. Semangat untuk kembali merawat sejarah, menghargai pencipta, dan membangun ekosistem musik yang adil dan beretika di tengah gempuran era digital. Semangat yang dulu diusung oleh Lokananta, Irama, dan DIMITA — semangat musik Indonesia yang seharusnya tak pernah padam.