Urbannews | Ada riak harapan di tengah gelombang digital yang mengguncang lanskap budaya. Di antara algoritma yang mengatur dengar dan diam, KMI 2025 muncul bukan sekadar acara tahunan—ia adalah panggilan pulang bagi ekosistem musik yang tercerai dalam diam.
Kita menyambut peristiwa ini bukan dengan gegap gempita pusat, melainkan dengan bisikan sunyi dari pinggiran. Harapan tumbuh dari lantai studio kecil di pelosok negeri, dari musisi café yang tersebar di seantero negeri, dari panggung terbuka yang dibangun swadaya, dari suara-suara yang selama ini luput dari peta. KMI, dalam harapan kolektif ini, tak lagi sekadar ruang wacana, tapi bisa menjadi telinga yang benar-benar mendengar.
Jakarta, dengan segala simbolnya, kini kita minta untuk menanggalkan mahkota dominasi dan mengenakan jubah kerendahan hati: menjadi ruang temu, bukan pusat kuasa. Biarlah dari pusat ini, lahir simpul yang menjahit serpihan-serpihan potensi musik nasional—yang selama ini bekerja sendiri, bertahan dalam kabut tanpa arah.
Inilah saatnya menyusun ulang peta: bukan berdasarkan peta lama warisan kolonial atau peta kekuasaan algoritma, tapi berdasarkan denyut nadi para pelaku—yang tak selalu punya label besar, yang tak selalu tampil di layar kaca, tapi justru menjaga nyala musik tetap hidup.
Maka, harapannya, KMI 2025 bukan hanya soal siapa yang bicara, tapi siapa yang didengarkan. Bukan hanya soal siapa yang tampil, tapi siapa yang selama ini tersembunyi. Dan bukan hanya soal musik sebagai industri, tapi musik sebagai bahasa, sebagai ruang hidup, sebagai cara bangsa ini memahami dirinya sendiri.|Edo Maitreya