Trodon Menjaga Nyala Api Musik Progresif di Tengah Sepi Sorotan

Urbannews | Tatkala panggung megah tak lagi menoleh pada musik progresif, Trodon tetap mengalunkan nada-nada sunyi yang jujur. Mereka bermain di ruang kecil, namun di sanalah jiwa progresif bernafas. Seakan mengatakan: musik bukan soal sorotan, melainkan tentang keberanian menjaga nyala meski dalam gelap.

Dalam dinamika industri musik Indonesia, tidak semua genre mendapat tempat di panggung besar atau perhatian media. Musik progresif, terlebih yang berwujud instrumental, sering dianggap terlalu rumit bagi pasar luas, bahkan kerap dipandang sebagai “seni pinggiran” yang hanya digandrungi kalangan terbatas. Namun, band progresif instrumental Trodon justru membalik pandangan itu dengan konsistensi dan dedikasi mereka.

Alih-alih larut dalam arus populer, Trodon yang diawaki Biondi Noya (gitar), Benita Vania (keyboard), Aprila Sitompul (bass) dan Peter Lumingkewas (drum), memilih kesetiaan pada idealisme musikalnya. Mereka tetap melangkah, walau panggung yang terbuka hanya gigs kecil dengan jumlah penonton terbatas. Justru di ruang intim itu, progresif menemukan pendengarnya—bukan sekadar mereka yang mengejar tren, melainkan mereka yang mendengarkan dengan hati.

“Kami tahu progresif bukan musik yang mudah dicerna. Tapi justru di situlah keindahannya—ia mengajak orang berhenti sejenak dan benar-benar mendengar.” jelas Biondi Noya, sang gitaris.

“Progresif adalah perjalanan, bukan tujuan. Selama kami masih bisa bermain, perjalanan itu akan terus kami jalani.” timpal Aprila Sitompul, bassist Trodon.

Setiap penampilan Trodon bukan sekadar hiburan, melainkan pernyataan sikap. Musik bagi mereka adalah bentuk perlawanan halus terhadap seragamnya industri, sekaligus ruang ekspresi yang jujur. Walau tak dilirik banyak pihak, Trodon tetap menghadirkan progresif sebagai warna yang berbeda, bukti bahwa musik sejati tidak pernah mati hanya karena minim sorotan.

“Bagi kami, gigs kecil bukan keterbatasan. Itu adalah ruang paling jujur, tempat musik bisa bersentuhan langsung dengan hati pendengar.” ujar sang keyboardist, Benita Vania.

“Sorotan bukan tujuan kami. Selama musik ini masih bisa hidup di telinga segelintir orang, itu sudah cukup untuk menjaga nyala.” pungkas Peter Lumingkewas, sang drummer.

Di antara gemuruh genre yang membius massa, Trodon memilih langkah berbeda—setia pada jalannya, meski harus menapaki panggung kecil. Mereka tahu, progresif bukan tentang ramai atau sepi, melainkan tentang keberanian menyalakan api yang tak mudah padam. Dan dari bara kecil itu, mungkin kelak lahir kobaran besar yang kembali menghidupkan progresif di tanah air.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *