Urbannews | Hening mulai terasa berbeda. Bukan karena malam semakin larut, tetapi karena musik yang biasa mengalun dari sudut-sudut kota kini perlahan menghilang. Kafe-kafe yang dulu ramai dengan live music kini sunyi. Trotoar yang dulunya dipenuhi denting gitar musisi jalanan kini kosong. Inilah potret baru kota, di mana musik menjadi korban diam-diam dari tumpukan regulasi.
Regulasi yang Membungkam Nada
Beberapa waktu terakhir, sang pemilik kebenaran mulai menerapkan regulasi ketat terhadap aktivitas hiburan malam, termasuk live music di kafe dan pertunjukan musik jalanan. Alasan yang dilontarkan beragam—dari harus izin pemilik lagu, hingga pengendalian kutipan royalti. Namun, di balik semua itu, yang paling terasa adalah dampaknya pada para musisi.
Banyak kafe terpaksa menghentikan pertunjukan musik karena kesulitan mengurus izin atau takut terkena sanksi. Sementara musisi café atau jalanan—yang selama ini mengandalkan keramaian malam untuk sekadar bertahan hidup—harus memindahkan alat musik mereka ke rumah dan menahan rindu akan panggung kecil yang dulu menyambut mereka.
Hilangnya Ruang Ekspresi
Musik bukan hanya hiburan. Bagi sebagian orang, itu adalah cara hidup, medium berekspresi, dan pengobat luka batin. Ketika ruang-ruang itu dibatasi, bukan hanya pendapatan yang tergerus, tapi juga jiwa yang terkekang.
“Sekarang saya harus nyanyi di kamar sambil live streaming. Tapi rasanya beda. Interaksi langsung dengan penonton itu nggak bisa digantikan,” ungkap Raka, seorang musisi akustik yang biasa tampil di kafe kawasan Sudirman.
Hal senada dirasakan oleh Lela, penyanyi jalanan yang biasanya mangkal di trotoar dekat stasiun. “Kami bukan mengganggu, kami hanya ingin didengar. Tapi sekarang malah dianggap pelanggar hak cipta.”
Cafe, Musik, dan Ekonomi Mikro
Bukan hanya musisi yang terimbas. Pengelola kafe dan bar kecil pun mengeluhkan berkurangnya pengunjung setelah live music tak lagi diperbolehkan. Musik live selama ini menjadi magnet utama untuk menarik pengunjung, terutama kalangan muda yang mencari suasana berbeda.
Menurut data dari Asosiasi Pengusaha Kafe Indonesia (fiktif), kafe dengan hiburan live mengalami penurunan omzet hingga 40% sejak aturan pembatasan diberlakukan. Itu belum termasuk efek domino pada kru panggung, operator sound system, hingga penjual makanan keliling yang menggantungkan penghasilan dari keramaian malam.
Perlu Ruang, Bukan Penyekatan
Regulasi tentu penting, tetapi membungkam suara-suara kreatif bukanlah solusi. Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang adil—yang mampu menyeimbangkan ketertiban dengan kebebasan berekspresi. Misalnya, dengan menyediakan zona-zona seni yang teratur, izin yang mudah diakses, dan jam operasional yang manusiawi.
Musisi bukan penjahat. Mereka adalah bagian dari denyut budaya kota. Jika terus ditekan, bukan tidak mungkin mereka akan benar-benar menghilang—dan kita akan kehilangan satu elemen penting dalam wajah kota: musik jalanan yang jujur, mentah, dan menghidupkan.
Akhir yang Sunyi
Suara musik mungkin perlahan padam, tetapi semangat para musisi tak mudah dibungkam. Di balik pintu tertutup dan layar digital, mereka tetap bernyanyi, menulis, dan bermimpi. Mereka menanti saat kota kembali membuka ruang—bukan hanya untuk suara, tapi juga untuk harapan.
Musik adalah napas kota. Jangan biarkan regulasi membuatnya kehabisan udara.
Foto: MetaAI