Urbannews | Di setiap ada yang mati, selalu ada persona yang paling berduka. Saat dunia hari ini berduka atas kepergian seorang legenda bernama Ozzy Osbourne, “The Prince of Darkness,” yang suaranya menggelegar di atas panggung dan kegilaannya mencengangkan jutaan penggemar. Namun bagi Sharon Osbourne, kepergiannya bukan sekadar kehilangan seorang ikon musik, melainkan kepergian separuh jiwanya.
Di balik sorotan lampu panggung dan reputasi liar Ozzy, tersimpan kisah cinta yang jauh lebih dalam. Cinta yang bertahan melintasi kegilaan, kecanduan, dan badai kehidupan.
Sharon tidak jatuh cinta pada Ozzy sebagai bintang rock, melainkan pada John Michael Osbourne, pria rapuh yang tersembunyi di balik persona “manusia gila.” Saat pertama kali bertemu, Ozzy adalah vokalis Black Sabbath yang terbuang, tenggelam dalam alkohol dan narkoba. Tapi Sharon melihat sesuatu yang lain: kelembutan seorang ayah, kecerdasan yang terpendam, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan. Singkatnya, hanya Sharon yang mampu melihat manusia di balik sosok monster Ozzy. Sharon adalah pawang Ozzy.
Dalam sebuah wawancara, Sharon pernah berkata; “Dia adalah orang paling tidak percaya diri yang pernah kukenal. Di atas panggung, dia bisa menjadi monster, tapi di rumah, dia hanya ingin dicintai apa adanya.”
Ozzy, dengan segala kekacauannya, memberinya sesuatu yang tak pernah dia dapatkan dari dunia glamor: kejujuran. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi orang lain, dan itulah yang membuat Sharon yakin, dia mau menikahi seorang pecandu, seorang underdog, karena di balik itu semua, ada hati yang tulus. Demikianlah cinta yang tak masuk logika mulai bekerja dengan caranya sendiri. Cara yang tak dimengerti manusia kebanyakan, manusia semenjana.
Pernikahan mereka bukanlah dongeng. Ozzy nyaris tewas karena overdosis, menghabiskan uang mereka untuk obat-obatan, dan bahkan hampir membunuh Sharon dalam keadaan mabuk pada 1989. Saat itu, Sharon bisa saja pergi, tapi dia memilih bertahan.
“Aku mencintainya, tapi aku juga membencinya. Tapi aku tahu, di suatu tempat di dalam dirinya, ada pria yang berjuang untuk hidup,” kenang Sharon yang memilih menjadi istri yang sholekah mendampingi masa gelap suaminya. Meski untuk itu cinta mereka diuji oleh neraka.
Mereka melalui rehab, terapi, dan skandal demi skandal. Sharon menjadi manajer sekaligus benteng terakhir Ozzy. Dia yang memaksa dunia melihat bakatnya, membangun karier solonya, dan menyelamatkannya dari dirinya sendiri.
Di tengah semua kegilaan, mereka membesarkan tiga anak; Aimee, Kelly, dan Jack dalam lingkungan yang jauh dari normal. Rumah mereka penuh dengan teriakan, pesta, dan kekacauan, tapi juga dipenuhi cinta. Sharon memastikan anak-anaknya mengerti.
“Ayah kalian mungkin orang gila di televisi, tapi dia juga orang yang selalu pulang membawa hadiah kecil untuk kalian, menangis saat kalian sakit, dan berusaha menjadi lebih baik.”
Ozzy, meskipun sering absen karena tur atau rehab, selalu berusaha hadir sebagai ayah. Dia mengajari anak-anaknya untuk tidak takut menjadi berbeda, persis seperti hidupnya. Persis seperti pernikahan orang tua mereka, yang membangun keluarga di tengah kekacauan.
Di akhir hayatnya, Ozzy sudah lemah, penyakit Parkinson menggerogoti tubuhnya, tapi tidak semangatnya. Sharon tetap di sisinya, memegang tangannya, seperti yang selalu dia lakukan sejak 40 tahun lalu.
“Aku tahu suatu hari dia akan pergi, tapi aku tidak pernah benar-benar siap,” ujar Sharon dengan suara hancur.
Cinta mereka adalah cinta yang “tidak masuk akal”, tapi justru itulah yang membuatnya abadi. Sharon mencintai Ozzy meskipun dia tidak gila, tapi karena dia gila. Karena di balik semua kegelapan, ada cahaya yang hanya dia yang bisa lihat. Di balik laki-laki lemah ada perempuan hebat, kira-kira begitulah. Cinta mereka aneh dan ganjil.
Kini, ketika dunia mengenang Ozzy sebagai legenda, Sharon mengenangnya sebagai suaminya, pria yang dulu menyelinap ke kamarnya dengan segelas susu dan obat tidur, hanya untuk memastikannya bisa istirahat setelah seharian bekerja. Cinta mereka tak pernah berakhir, bahkan setelah kematian menyapa.
“Goodbye, Ozzy. Terima kasih untuk semua lagu, semua tawa, dan semua kekacauan. Aku akan merindukanmu sampai akhir hidupku.”
Rest in peace, Prince of Darkness. Your madness was your magic.(bb)