Urbannews | #OzzyOsbourne yang sejak kecil saya simak gemar teriak-teriak dari kamar kakak saya, akhirnya wafat di usia 76 tahun, atau hanya seminggu setelah konser reuni dengan kompatriotnya di Black Sabbath, sekaligus konser perpisahan kepada penggemarnya di dunia.
Dalam statemen resminya yang dirilis dari Birmingham, Inggris, keluarga menulis: “It is with more sadness than mere words can convey that we have to report that our beloved Ozzy Osbourne has passed away this morning. He was with his family and surrounded by love.”
Pagi ini, dunia kehilangan suara khasnya yang paling liar, paling rusak, sekaligus paling indah. Ozzy Osbourne bukan sekadar penyanyi, dia adalah badai yang berjalan dalam daging manusia. Seorang yang begitu sering disangka akan mati muda, tapi justru hidup dengan keras, jatuh dengan keras, dan bangkit dengan keras, berkali-kali.
Meski tidak mengenal Chairil Anwar, dia seperti mengejek petilan puisi si liar dalam khazanah kepenyairan Indonesia itu, yang berbunyi; “Sekali berarti, sudah itu mati”. Karena Ozzy berkali-kali berarti, sebelum mati!
Ya, kita mengenalnya sebagai “The Madman”, pria yang menggigit kepala kelelawar di atas panggung, mabuk sampai buta selama dekade-dekade kelam, dan hampir menghancurkan segalanya, termasuk dirinya sendiri. Bahkan anak liar lainnya dari Montley Crue bernama Tommy Lee sampai geleng-geleng dibuatnya; “Saya pikir saya manusia paling gila, tapi tidak ada sekuku hitamnya dengan Ozzy kegilaan saya,” kurang lebih demikian pengakuan Lee.
Tapi Sharon, cintanya, saksi hidup dari semua kegilaannya, pernah berkata: “Ozzy bisa menghancurkan seluruh kamar hotel dalam semalam, tapi esok paginya dia akan menangis seperti anak kecil, tak mengerti mengapa dia melakukan itu. Dia bukan monster, dia hanya tersesat.”
Dan begitulah Ozzy, sebuah kontradiksi berjalan. Di balik teriakan “Crazy Train”, ada seorang lelaki yang begitu rapuh, begitu takut ditinggalkan. Di balik legenda metal yang menggetarkan, ada suami yang memohon maaf berulang kali, ayah yang mencoba menjadi lebih baik, dan manusia yang berjuang melawan ketakutannya sendiri.
Tapi pagi itu, di panggung terakhirnya, dunia melihatnya berbeda. Tidak ada ular, tidak ada darah palsu, hanya Ozzy, berkaca-kaca, menyanyikan ‘Mama, I’m Coming Home’ seolah setiap napas adalah pengakuan. Sharon bilang dia selalu tahu kapan Ozzy benar-benar jujur; “Kalau dia menangis di lagu itu, itu artinya hatinya sedang berbicara.” Dan malam itu, hatinya berteriak.
Dunia mengira Ozzy akan mati sebagai karikatur dirinya sendiri, seseorang yang terkutuk oleh narkoba, alkohol, dan kegilaan. (Kesaksian Tommy Lee, Ozzy bahkan menjilati air kencingnya sendiri saat mabok berat, dan mengotori kamar hotel dengan feces-nya sendiri). Tapi lihatlah akhir hidupnya, dia bertahan. Dia dicintai. Dia menang. Dia husnul khotimah (semoga).
Pagi ini, Pangeran Kegelapan akhirnya pulang. Bukan sebagai pecundang, bukan sebagai legenda yang hancur, tapi sebagai manusia yang, setelah sekian lama berperang, akhirnya bisa beristirahat.
“Goodbye to romance… Goodbye to friends…” Tapi untuk sebagian besar kita, Ozzy tidak benar-benar pergi, karena kami tidak akan pernah benar-benar bisa mengucapkan selamat tinggal. Karena kegilaanmu abadi. DukaMu abadi! (bb).