Urbannews | Saya mencoba mengerti Indra Lesmana, sebagaimana saya berikhtiar mengeja Anas. Yang pasti Indra Lesmana sedang melakukan
perlawanan terhadap komersialisasi yang menyesatkan, dengan penunggangan terma “jazz” yang dia tujukan kepada Anas sebagai promotor Prambanan Jazz 2025. Yang line up pengisinya, menurut dia, tidak ada yang benar-benar musisi jazz, seperti dirinya.
Indra Lesmana, sebagai musisi jazz yang mendedikasikan hidupnya pada pengembangan musik jazz di Indonesia, memiliki hak moral untuk marah ketika istilah “jazz” digunakan sebagai “alat pemasaran kosong”. Karena bagi Indra, jazz bukan sekadar genre, melainkan tradisi musikal dengan sejarah, teknik, dan filosofi yang khas.
Makanya, ketika ada promotor menggelar festival “jazz” tetapi diisi musisi pop, R&B, atau elektronik, dan seterusnya, hal inilah yang dia timbang sebagai “penipuan artistik” bukan sekadar strategi bisnis belaka.
Karenanya Indra menyebut promotor “menyesatkan” sebab telah melakukan eksploitasi nama jazz untuk menarik penonton yang sebenarnya (bisa jadi) mencari pengalaman jazz asli (?). Sekaligus melakukan pelecehan terhadap integritas jazz sebagai genre yang punya standar musikal tertentu. Serta “pembodohan publik” yang mungkin tidak paham jazz, tetapi tertipu oleh label festival.
Meski Anas sebagai promotor tentu mempunyai apologinya sendiri, namun di mata Indra, Anas telah memalsukan niatnya dan tidak jujur dari mula, sejak dalam pikiran.
Makanya saat Anas berdalih, atau membela diri dengan mengatakan; “Demi memperkenalkan jazz ke penikmat non-jazz”, sekaligus membawa musisi non jazz ke panggung jazz adalah bukan sebentuk pengkhianatan, dan alasan kesinambungan dll, langkahnya tetap ditimbang oleh Indra sangat lemah.
Karena jika tujuannya edukasi, harus ada kurasi yang jelas (misal: menggabungkan musisi jazz dengan fusion/pendatang baru). Tapi jangan salah, Anas bukan sehari dua menjadi promotor yang “licin” dengan segala kreatifitas yang dimilikinya. Masalahnya, kreativitas tidak sama dengan penipuan, menurut Indra Lesmana.
Anas sangat maklum sekali langkah yang diambilnya dengan perhitungan yang sangat matang. Jazz selama ini dianggap “elit” dan kurang laku, jika dia sebagai entitas berdiri sendirian dalam sebuah festival. Makanya, karena Anas ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya, tanpa harus menanggalkan status elitnya, disusupkanlah (banyak) musik non jazz di evennya. Apakah ini kejahatan? Tentu tidak.
Tapi, ketidakjujuran yang lebih menguntungkan secara bisnis kepada Anas inilah yang coba dilawan Indra Lesmana. Sembari menunggangi label “jazz” yang bisa menarik sponsor dan penonton yang lebih luas. Festival yang membawa nama “jazz” juga dipercaya meningkatkan status sosial tersendiri.
Meski semua orang tahu, tidak ada pertanggungjawaban kuratorial dalam sebuah festival musik, karena industri musik Indonesia longgar dalam definisi genre. Jadi festivalnya namanya apa, isinya apa, suka-suka yang buat.
Lalu bagaimana mencari atau mendekati solusi yang adil, jujur dan berani tanpa eksploitasi istilah jazz? Baiknya gunakan nama yang sesuai. Jika line-up-nya campuran, sebut saja “Festival Musik Eclectic” atau “Urban Jazz & More”, dan seterusnya. Sekaligus mengedukasi penonton. Jika ingin mengenalkan jazz, buat program bertahap (workshop, kolaborasi dengan musisi non-jazz).
Karenanya Indra Lesmana sejatinya ingin mengkritik promotor, siapa saja namanya, untuk menghentikan pembohongan publik. Karena jazz punya komunitas yang layak dihargai. Plus, jika tujuannya murni bisnis, akui saja, jangan bersembunyi di balik narasi “memajukan jazz” dan lain sebagainya.
Contoh Kasus Serupa di Mancanegara
Jazz Fest New Orleans meskipun ada musisi non-jazz (Lenny Kravitz, The Rolling Stones), mereka tetap mempertahankan dominasi jazz dengan kurasi ketat. Montreux Jazz Festival (Swiss) awalnya murni jazz, kini lebih eklektik, tetapi tetap transparan dalam branding.
Masalah serupa terjadi di Jepang (Tokyo Jazz Festival), beberapa tahun terakhir dikritik karena terlalu banyak pop, tetapi masih lebih jazz daripada kebanyakan festival musik di Indonesia, yang gemar menunggangi “jazz”.
Akhirnya, jazz bukan sekadar label, tapi identitas. Indra Lesmana benar dalam mempertahankan kejujuran artistik. Karenanya dia mendorong promotor untuk dan harus berani berkata: “Ini festival musik, bukan jazz” (jika memang bukan jazz). “Kami ingin jazz berdialog dengan genre lain” (jika ada visi kolaborasi).
Ya, industri musik Indonesia perlu lebih menghormati genre, bukan hanya menjadikannya alat marketing kosong. Jazz mungkin segelintir penikmatnya, tetapi justru karena itulah keberanian untuk jujur lebih dihargai di rumah jazz.
Di atas itu semua, perbedaan itu biasa. Yang tidak biasa itu jika perbedaan dipelihara berbilang tahun oleh penyelenggara acara, tanpa mencari kekurangannya demi cuan!.
Foto ilustrasi: MetaAI