Urbannews | Senin (25/3) sore, Saya menerabas lalulintas Jakarta yang sedang lucu-lucunya di jam segitu itu, untuk memenuhi undangan mas Seno M. Hardjo, kumpul serta buka bersama sambil temu rasa dan temu pikir dengan teman-teman musisi, promotor, juga tentunya teman-teman jurnalis musik di Bengkel Vokal sekaligus Café Dokat (Doddy Katamsi), yang berada dikawasan Limo Meruyung, Depok.
Acara di rembang petang tersebut menurut Saya bukan sekedar buka bersama biasa, tapi lebih pada silaturahmi musikal yang menerabas batas persona masing-masing dalam menyikapi problematik setiap kisi-kisi Industri musik paling hot dengan segala cengkunenya. Lihat saja, bagaimana sekelas musisi juga komposer Denny Chasmala yang memiliki seabreg karya hits, masih pusing tujuh keliling oleh persoalan hak royaltinya yang tak berkeadilan dan tak kunjung memuaskan.
Begitupun vokalis Elpamas dan Seven Years Later Band, yang juga guru vokal Doddy Katamsi, harus berjibaku dalam ruang’ musikalnya demi kemandirian hidup sebagai seorang seniman lewat mengajar di bengkel vokal miliknya. Doddy Katamsi yang memiliki DNA kesenimanan dari ibu seriosa Indonesia, Pranawengrum Katamsi, yang juga pengajar vokal, paham betul bahwa seorang penyanyi itu bukan sekedar berdendang, tapi ia harus mampu olah rasa dan pemaknaan setiap kata.
Karena, musik sejatinya adalah ilmu pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritmik dari nada-nada, baik vokal maupun instrumental, yang meliputi melodi dan harmoni sebagai ekspresi dari segala sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek emosional. Seorang penyanyi harus memiliki kemampuan storytelling atau bercerita mumpuni yang bisa mengantar meraih sukses. Untuk itu, perlu dan terus mengasah kemampuan olah vokal.
Ada cerita menarik lainnya, yang sampaikan jurnalis musik Irish Blackmore. Ia berkisah sebelum pandemi, anak sulungnya yang nge_band dapat 2 undangan manggung di luar negeri, yakni; di Miami Beach Festival LA Amerika dan Manchester Punk Festival Inggris. 2 undangan ini tentunya disambut dengan gembira, artinya band anaknya atau band dari Indonesia mendapat apresiasi yang tinggi. Tapi, nah ada tapinya, tersebab untuk berangkat kesana PP kudu ngerogoh kocek dalem-dalem alias modal sendiri.
Problem yang di alami Irish Blackmore dan anaknya, sebenarnya dirasakan juga oleh beberapa teman musisi yang dapat undangan manggung atau tour diluar negeri, yakni; bukan hanya persoalan visa saja, tapi yang utama adalah transportasi serta akomodasi keluar negeri. Mereka itu butuh dukungan atau sponsor untuk kesana. Dan, mustinya pemerintah hadir disini, karena mereka bukan sekedar menjejakan karya juga brandband mereka, tapi kesana juga atas nama Indonesia.
Setali tiga uang, persoalan yang dihadapi oleh seorang promotor musik seperti Atuk Faturachman, atau jurnalis musik yang juga bergiat di festival musik Indrawan Ibonk. Yakni, minimnya kehadiran atau dukungan pemerintah dalam seni pertunjukan, dalam hal ini festival musik, baik itu soal regulasi dimana untuk mengurus perizinan saja, promotor harus melalui 8 s/d 15 tahapan, berurusan dengan banyak pihak, dan yang kadang kala baru mendapatkan perizinan pada h-1 kegiatan. Apalagi, soal pendanaan.
Merujuk pada data Statista, menunjukkan Indonesia sebagai pasar potensial untuk industri musik. Namun sayang ekosistem atau tata kelola musik dalam negeri tidak berjalan dengan baik dan tumbuh sehat, serta berdaulat. Pemerintah saat ini masih belum mampu melindungi setiap insan musik dalam negeri secara maksimal. Pemajuan musik Indonesia seperti masih sebatas bincang-bincang diruang hampa alias wacana.
Saya masih ingat pada sebuah peristiwa penting demi pemajuan ekosistem industri musik Indonesia yang sehat, hadir selama 3 hari mengikuti ragam diskusi panel dengan menghadirkan narasumber dari berbagai elemen, maupun membentuk kelompok diskusi kecil lewat cakupan bahasan seru, di Konferensi Musik Indonesia dan Festival 2018 di kota Ambon.
Dari Konferensi Musik Indonesia pertama ini, lahirlah rumusan atau menerbitkan 12 point penting berbentuk rekomendasi sebagai kerjasama strategis antara pelaku kepentingan di industri musik dan pemerintah RI. Dan, 12 rekomendasi hasil rancangan tersebut pun disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, (terlampir link dibawah ini) https://urbannews.co/12-point-rekomendasi-kami-2018-akan-diserahkan-ke-presiden-joko-widodo/.
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, dalam kata sambutannya di pembukaan ‘Konferensi Musik Indonesia’, menyatakan di era digital ada dua point penting yakni musik sebagai disruption dan opportunity. Dan, pengembangannya ada pada tataran pembangunan ekosistem musik yang sehat dan berkelanjutan. Salah satunya, melalui pendidikan dengan membangun sekolah musik, dan juga infrastruktur penunjangnya lainnya yaitu gedung kesenian di seluruh Indonesia.
Sri Mulyani pun mengatakan pertanyaan dananya dari mana? Sejurus kemudian dia menjelaskan, penyerapan dana APBN di Kemedikbud bisa di alokasikan dari sana. Sedangkan, gedung kesenian bisa lewat APBD masing-masing daerah.
12 rekomendasi hasil Konferensi Musik Indonesia 2018 di Ambon, kemudian dilanjut yang kedua tahun 2019 di Gedung Budaya Sabilulungan, Kabupaten Bandung, yang menyoal bagaimana caranya industri musik dapat dikelola secara lebih baik dan lestari? Serta bagaimana musik dapat membawa perdamaian bagi Indonesia?.
Kemudia ditambah pernyataan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani. Rasa-rasanya kok seperti drama dua babak karya Samuel Beckett. Mahakarya berupa drama absurd yang berkisah tentang Estragon dan Vladimir yang sedang menantikan kedatangan Godot—sosok yang mewakili gagasan sentral yang notabene justru tidak pernah muncul sepanjang cerita. Menunggu Godot kemudian diartikan sebagai menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.