Pentingkah Perlindungan Hukum bagi Pekerja Film

Movie481 Dilihat

Urbannews | Judul diatas cukup menggelitik ditengah isu yang mencuat akhir-akhir ini, yakni kasus dugaan kekerasan yang disebut-sebut dilakukan oleh sutradara terhadap seorang kru perempuan di lokasi syuting. Kata sejumlah aktivis, kasus ini hanya sebagai “puncak gunung es” dari maraknya kasus kekerasan yang dialami pekerja perfilman Indonesia, terutama perempuan.

Belum lagi, isu pekerja anak maupun anak yang bekerja dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia bukan merupakan hal baru. Anak-anak yang bekerja di industri hiburan, atau yang biasa disebut sebagai artis cilik, tidak pernah dilihat sebagai permasalahan sosial. Mereka dijadikan sebagai sumber pendapatan yang menggiurkan dengan memanfaatkan bakat dan minat yang dimilikinya. Hingga banyak artis cilik yang harus merelakan pendidikan, waktu bermain dan istirahat, karena kesibukannya bekerja di industri hiburan.

Dari seri keempat webinar Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI),  Jumat,15/10, di Jakarta dengan tema “Perlindungan Hukum bagi Pekerja Film.” Pakar Hukum Perburuhan Kemalsyah Siregar, menyampaikan, kini sudah  saatnya para pekerja perfilman Indonesia memiliki acuan perlindungan hukum yang jelas, agar mereka memperoleh kepastian perlindungan hukum. “Dengan kata lain, ada warning system,” kata lulusan Fakuktas Hukum UI itu.

Kemal menjelaskan, dalam perlindungan hukum terhadap para pekerja film, ada dua aspek. Pertama  perlindungan hukum yang terkait dengan hak kekayaan intelektual seperti hak cipta dan sebagainya. Sedangkan aspek kedua, perlindungan hukum terhadap diri para pekerja perfilman. Menurut Kemal, bidang keahlianya sebagai advokat, hanya terbatas pada perlindungan hukum perburuhan kepada para pekerja perfilman. “Untuk yang pertama soal hak kekayaan intelektual, saya tidak mau atau tidak dapat memberi komentar karena hal itu di luar bidang saya,” terang Kemal.

Menurut pakar perburuhan yang menjadi advokat banyak perusahaan besar ini, dilihat dari jenis pekerjaannya,  sudah perlu diperhatikan adanya  perjanjian kerja  yang mengatur jam kerja  ideal bagi pekerja film. “Idealnya  perjanjian kerja yang pas dan  sesuai dituangkan dalam surat kontrak, waktunya hanya 7 jam sehari atau 40 jam untuk enam hari kerja, “ tandas Kemal.

Kemudian kalau ada lembur, tambah Kemal, harus sesuai dengan yang diatur oleh UU Perburuhan. “Minimal sesuai dengan peraturan setempat,” jelasnya. Istilah setempat pun, dalam pandangan Kemal, harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan kontrak awal, bukan semata dikaitkan dengan tempat lokasi pengambilan gambar semata.

Selain Kemalsyah Siregar, dalam webinar itu juga ditampilkan  Niniek L Karim, artis yang juga psikolog  sosial UI, dan sutrada muda Hadrah Daeng Ratu.

Niniek L Karim dalam pemaparanya menyampaikan  beberapa hal, di antaranya soal jam kerja yang tidak sesuai dengan upah yang diterima. Bahkan ia mengangap hal itu seperti kerja rodi. “Misalnya seorang figuran film, kerja dari subuh ke subuh lagi dan hanya dapat honor yang enggak semestinya,  Ini kan kerja rodi,” ungkap Niniek L Karim.

Sedangkan, Sutradara Hadrah Daeng Ratu  lebih menyoroti ke kontrak kerja. Dia mengungkapkan, kontrak kerja dalam perfilman nasional kebanyakan cuma ditandatangan chief atau pimpinan kelompok. “Itupun tidak semua kru tahu. Sementara di surat kontrak tertulis berlaku untuk semua kru,” kata Hadrah.

Berdasarkan pengalaman Hadrah, sering terjadi pembatalan sebuah produksi tanpa kompensasi apa-apa. Oleh sebab itu ia mengajak kepada para pekerja film untuk mengkampanyekan kesadaran kontrak. “Harus dikampanyekan lagi kesadaran kontrak kerja antara kru dan rumah produksi,” ujar Hadrah.

Hadrah berpendapat, normalnya  kru film bekerja tidak lebih dari 14 jam. Kalau bekerja lebih 20 jam kemungkinan besar berdampak banyak, misalnya ada sakit. Selain itu jika pulang larut malam, karena kecapean  ada bahaya di jalan karena.Selain itu Hadrah mengungkapkan, karena sering terjadi tidak tepat waktu sehingga jadwal syuting menjadi mundur. “Akibatnya merugikan para pekerja film,” tambahnya.

Semantara, Direktur Perfilman Musik dan Media Kemendikbud Ristek RI, Ahmad Mahendra, dalam sambutannya di webinar ini mengemukakan, peran penting  wartawan dalam perjalanan perfilman Indonesia. “Wartawan film dan budaya di Indonesia adalah pilar utama dan mengambil peran sangat penting sebagai penguat ekosistem perfilman tanah air,“ kata Mahendra.

Menurut Mahendra, sejarah telah membuktikan peran penting wartawan film dalam perjalanan panjang film Indonesia. Mahendra menambahkan, berdasarkan pemahaman itulah dia menilai Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) sangat penting keberadaan dan keberlangsungannya.

“Karenanya, Direktorat Perfilman Musik dan Media Kemendikbud Ristek RI memberikan dukungan sepenuhnya atas terselenggaranya FFWI XII tahun 2022 ini. Dan, tema webinar ini sangat penting bagi perfilman nasional Indonesia. Oleh sebab itu dia mengusulkan agar tema ini dikembangkan untuk acara nasional.” tambah Mahendra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *