Urbannews | Dalam hidup ini kita semua berhak untuk bermimpi, termasuk juga menjaga mimpi tersebut sampai menjadi kenyataan. Dengan mimpi kita punya tujuan yang harus dicapai. Dengan mimpi jalan hidup kita akan lebih terarah dan tertata. Dengan mimpi kita punya pandangan, dan tidak akan jadi seperti aliran air yang hanya pasrah mengikuti arus aliran.
Meskipun terlihat begitu optimis, namun terkadang ada fase dimana kita merasa bahwa mimpi dan cita-cita tersebut sangat sulit untuk diwujudkan. Mungkin karena alasan kondisi dan keadaan yang tidak memungkinkan, akhirnya berujung menyerah kalah. Bahkan, tidak sedikit memaksanya untuk melupakan impian tersebut.
Padahal, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Bisa juga, tidak ada yang mudah, tapi tidak ada yang tak mungkin. Satu-satunya cara untuk mengetahui batas-batas kata “mungkin”, adalah dengan melampaui batas yang tidak mungkin. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan, sebab semua terjadi karena suatu alasan.
Percayalah, jika sesuatu itu memang ditakdirkan untuk kita, maka sesulit apapun mencapainya, sesuatu itu akan tetap menjadi milik kita. Ketika kita tak bisa mengubah situasi, disitulah kita ditantang untuk mengubah diri. Apapun yang kau rasakan saat ini, ingat bahwa kau tidak sendiri. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha dan berdoa, biarkan Tuhan yang menentukannya.
Prolog di atas, saya mencoba menukil dari acara online film screening “PARA HIKING” yang digelar Yale University (Indonesian Language Program) & Acha Productions, Selasa, 22 Sept 2020 pukul 8PM (EST Zone, USA & Canada), atau Rabu, 23 Sept 2020 Pukul 7AM (WIB, Jakarta-Indonesia), lewat zoom meeting.
Acara yang dipandu Maya Naratama (Acha Productions, New York), dan Nikita Abigail (Cornell SE Asia Studies MA Student), selain dihadiri DR. Arifi Saiman (Konjen RI New York), Indriyo Sukmono (Yale University), Fajrian – Producer, Arung dan Wishnu – Cast, juga diikuti banyak peserta.
Film dokumenter “Para Hiking” besutan sutradara Fajrian yang mendapat banyak perhatian sekaligus penghargaan ragam kategori dari festival film diluar negeri ini, bercerita tentang humanity dalam sebuah pendakian yang sukses mencapai puncak Gunung Gede oleh 5 orang muda penyandang disabilitas (3 tuna netra, 1 cerebral Palsy dan 1 Tuna daksa).
Fllm berdurasl 38 menlt ini mengallr begitu epic dengan penampilan nyata dari 3 teman tuna netra yaitu Dedi, Whisnu dan Ludian, seorang penderita lumpuhotak bernama Arung, serta seorang penderita cacat fisik bernama John. Dengan segala rasa sukacita, mereka semuanya mampu berjuang melawan ketidakmungkinan menjadi kenyataan.
“Awalnya, kami hanya ingin membuat video dokumentasi untuk kegiatan sosial saja. Tapi dalam perjalanan proyek ini banyak kisah menarik dari ke-5 teman-teman secara personal. Setelah saya berembuk dengan tim, kenapa tidak sekalian saja menjadi film dokumenter,” jelas Fajrian, produser “Para Hiking”.
Persiapan pun dilakukan lebih serius. Tidak saja pemilihan Gunung Gede sebagai pendakian yang trekkingnya cukup lebar, bersih, aman, friendly, dan jarak tempuh dari tempat tinggal teman-teman di Jakarta tidak terlalu jauh. Tapi, hambatan baik kesiapan secara fisik dan mental, juga dukungan orang tua, harus diatasi dengan bijak.
Film “Para Hiking” yang diputar dalam berbagai macam acara publik dan juga private untuk memotivasi kita semua sebagai orang normal selalu bersyukur dan tidak mudah menyerah. Seperti yang dikatakan salah satu dari kelima, bahwa dirinya para seperti pejuang kemerdekaan dalam menyingkirkan musuh. Tapi, musuh disini yakni soal ketakutan dan ketidakpercayaan pada diri sendiri.
Tidak hanya itu, para peserta memilki pengalaman tersendiri. Seperti yang dikatakan Wisnu, dari bawah menuju ke Alun-alun Suryakencana, padang savana yang menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, pakai tenaga, dan dari Suryakencana menuju puncak gunung pakai hati. “Dalam perjalan ada cinta kasih dan kebersamaan diantara kami. Jadi, jangan pernah menyerah,” tukas Wisnu.
Fajrian menambahkan, bahwa dirinya mendapat pelajaran cukup berarti, yakni teman-teman difabel ternyata lebih butuh dukungan juga kesempatan, dari pada sekedar dikasihani. Artinya, beri mereka kepercayaan yang sama tanpa perbedaan dengan mereka yang normal untuk berkembang dalam segala bidang apapun, sensuai kemampuannya.
Dalam hidup ini kita semua berhak untuk bermimpi dan menjaga mimpi tersebut sampai menjadi kenyataan. Dengan mimpi kita punya tujuan yang harus dicapai. Dengan mimpi jalan hidup kita akan lebih terarah dan tertata. Dengan mimpi kita punya pandangan, dan tidak akan jadi seperti aliran air yang hanya pasrah mengikuti arus aliran.
Saya sangat sepakat dengan gagasan Acha Productions dan Yale University (Indonesian Language Program), memperkenalkan Indonesia di Amerika tidak selalu melalui wisata dan kuliner, tapi bisa melalui film. Karena, narasi tentang keindahan alamnya, budayanya, bahasanya, makanannya, arsitekturnya, sampai orangnya, makanannya bisa di tautkan jadi satu kesatuan utuh yang di-highlight dalam film.