Urbannews Musik | Pamor Fariz Rustam Munaf atau cukup akrab dipanggil Fariz RM, sebagai penyanyi sekaligus musikus dengan sederet karya hits-nya, masih tetap bersinar dijagad musik Indonesia. Hal ini, terbukti lewat “Konser 7 Ruang” yang digagas DSS Music bertajuk “Fariz RM Anthology” yang disiarkan secara live streaming dikanal YouTube DSS Music, mendapat animo luar biasa.
Dengan durasi sekitar satu setengah jam lebih, dengan 8 lagu plus 1 tambahan yang dibawakan Fariz. Penonton dijagad maya yang juga penggemarnya, baik mereka dari Indonesia tercinta maupun mancanegara, seolah diajak bersama membuka lembar demi lebar buku musikal perjalanan Fariz lewat karya poulernya yang evergreen, dan menghiasi katalog musik Indonesia.
Deretan tembang yang dibawakan Fariz sepanjang konser, aransemen musiknya lebih apik dan soundnya memanjakan telinga. Tentu saja, berkat dukungan session player yang hebat seperti; Eddy Syakroni (drums), Adi Darmawan (bass), Iwan Wiradz (perkusi), Michael Alexander (gitar), Eugen Bounty (saxophone), serta Fariz RM sendiri pada piano juga keybord, termasuk guest star on keyb Yongkie Vincent.
Penampilan Fariz RM di Konser 7 Ruang, Sabtu, 4 Juli 2020 malam, kita semua diajak sing along, sambil memutar kenangan lama dalam ruang rindu. Setiap lagu Fariz seperti magic, karena memiliki kisah atau peristiwa yang menjadi latar terbuatnya lagu itu sendiri. Misal; Lagu Susie Bhelel, bagi mereka yang kini berusia 50 tahunan pasti mengenal “lintas melawai” tempat nongkrong. Dan, lagu tersebut adalah potret anak muda di era itu.
Ada lagi, Hasrat dan Cita yang dinyanyikan oleh Andi Meriem Matalatta untuk album dirinya Bahtera Asmara yang dirilis pada tahun 1979. Sebenarnya, lagu tersebut diciptakan oleh Fariz tahun 1975 saat ia masih SMA. “Lagu Ini sangat bersrjarah bagi Saya, karena untuk pertama kalinya di perkenalkan secara komersial ditingkat nasional oleh sahabat Saya, Andi Meriem Matalatta,’ tutur Fariz, saat lagu dibawakan oleh dirinya.
Dan, menarik lagu berikutnya yakni Sakura rilisan tahun 1980. Lagu Ini, sebenarnya dibuat Fariz untuk soundtrack film “Sakura Dalam Pelukan” pada tahun 1979, atas permintaan sang sutradara Fritz G. Schadt. Lagu yang filmnya dibintangi antara lain oleh Eva Arnaz dan Liem Swie King ini, ternyata usianya sudah 40 tahun. Lagu yang juga dibawakan semalam. Menurut Fariz, judul lagu yang dia rilis untuk album hanya pakai Sakura-nya saja.
Jika kita membuka songbook karya Fariz RM pastinya akan banyak menemukan lagu-lagu dengan kisahnya tersendiri, seperti yang juga dilantunkannya yakni; Penari, Sungguh, Nada Kasih, Melangkah Kesebrang, Barcelona, dan Persimpangan. Konser Fariz RM Anthology tadi malam, walau disaksikan secara virtual, kualitas audio atau sound yang dihasilkan luar biasa keren. Ini berkat DSS Music yang langsung di handle pemiliknya Donny Hardono, sosok professional sound engineer Indonesia.
Konser 7 Ruang (K7R) yang digagas Donny Hardono bersama DSS Musicnya, menjadi konser digital pertama di Indonesia. K7R alternatif tontonan masyarakat dirumah saja dan dari mana saja, ditengah masa pandemik. Konser 7 Ruang adalah konser yang mematuhi protokol kesehatan dengan menjaga jarak, dimana pengisi acara atau pemainya ditempatkan pada 7 ruang yang berbeda. Dan dahsyatnya lagi, dengan kualitas sound yang mumpuni, tanpa ada delay saat kita mendengarkan.
Menariknya lagi konser ini gratis. Namun bagi mereka yang ingin berdonasi tentunya dipersilahkan, karena Ini membantu para pekerjaseni yang terdampak. Ada satu hal mungkin terlupakan dari gelaran Konser 7 Ruang ini. Donny Hardono tanpa disengaja, sebenarnya ia sedang merawat sejarah atas karya musik bagus para musisi Indonesia untuk tetap abadi, agar tidak hilang ditelan waktu. Karya musik itu seperti artefak, dan Konser 7 Ruang sedang merekam jejak-jejak perjuangan para legenda musik Indonesia.
Saya memberi apresiasi pada para seniman dari berbagai lini sebagai perjuang budaya yang menorehkan karya adiluhungnya. Seperti Fariz RM dengan segudang karyanya jangan sampai terlupakan dari sejarah musik Indonesia, atau generasi mendatang tidak tau dan mengenal sejarah musisinya sendiri. Untuk itu, kita butuh dokumentasi perjalanan dan perjuangan seorang seniman musik. Kita butuh banyak literasi ragam bentuk, seperti yang dilakukan Donny Hardono melalui Konser 7 Ruang sebagai digital document libraries musik Indonesia.
/e20