Urbannews Musik | Dalam Konferensi Musik Indonesia 2019, ratusan pegiat musik dengan antusias membahas tentang serikat pekerja musik, royalti, dan membangun kota musik. Perhelatan yang digagas Kami Musik Indonesia (KAMI) ini mempertemukan musisi dari berbagai genre dan aktor industri musik lainnya demi membuat industri musik jadi lebih adil dan berkelanjutan.
Sesi pertama, Pekerja Musik Berserikat, membahas urgensi pembentukan serikat pekerja musik dan peranannya. “Perlu dibentuk Serikat Pekerja Musik yang bisa memperjuangkan nasib musisi, terutama dari sisi ketenagakerjaan, standar imbalan finansial bagi pekerja musik, dan mengatasi masalah diskriminasi gender maupun kekerasan seksual di skena musik,” ujar Pengurus Koalisi Seni, Linda Hoemar Abidin, saat membacakan poin-poin hasil diskusi pada akhir konferensi di Gedong Budaya Sabilulungan, Kabupaten Bandung, 23 November 2019.
Serikat Pekerja Musik ini bisa jadi mitra pemerintah dalam memberi masukan bagi kebijakan terkait musik. Namun, serikat tersebut harus transparan dan mudah diakses, dengan aturan jelas dan mengikuti regulasi yang berlaku. Serikat juga harus sensitif gender dan punya kebijakan afirmatif untuk mendorong perempuan ikut terlibat aktif di dalamnya.
Diskusi Panen Royalti dan Sosialisasi Undang-undang (UU) Ekonomi Kreatif (Ekraf) menelisik perkembangan Portamento, sistem informasi terpadu untuk musik yang digagas Badan Ekonomi Kreatif (kini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). Sistem ini dijanjikan bisa mengatasi tantangan dalam pendataan musik dan penyaluran royalti bagi musisi. “Portamento akan memasuki tahap development tahun depan. Karena melibatkan banyak kementerian dan juga harus bernegosiasi dengan pihak luar negeri, pembangunan sistem ini perlu waktu beberapa tahun. KAMI akan terus memantaunya,” kata Linda.
Sembari menunggu Portamento rampung, musisi didorong jadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) agar bisa mendapatkan hak royaltinya dengan lebih sistematis. Perlu lebih banyak terobosan pula dalam penyaluran apresiasi dan royalti kepada musisi. Terkait UU Ekraf, ada empat Peraturan Pemerintah (PP) turunannya yang perlu dikawal agar sesuai dengan kebutuhan industri musik. Empat PP ini mengatur skema pembiayaan dan pemasaran berbasis kekayaan intelektual, juga rencana induk dan kelembagaan ekonomi kreatif.
Perihal Ambon yang baru saja ditetapkan UNESCO sebagai Kota Musik, para pembicara sepakat konsekuensinya ialah musik harus jadi nafas pembangunan di kota itu. “Ambon harus memiliki peta jalan dan leadership (kepemimpinan) dalam menghidupkan dirinya sebagai kota musik serta memberi manfaat bagi warganya. Dalam daftar UNESCO Creative Cities, ada Bandung sebagai Kota Desain. Akan bagus sekali kalau kedua kota ini menjalin kerja sama untuk saling memajukan dan bertukar kreativitas,” tutur Glenn Fredly, penggagas KAMI.
Tidak tertutup pula kota-kota lain di Indonesia mengembangkan diri sebagai kota musik. Idealnya, kota-kota musik ini melakukan pemetaan dan pendataan ekosistem musik di wilayahnya secara komprehensif. Perlu dipastikan pula, ada infrastruktur berupa ruang publik untuk bermusik yang mudah diakses masyarakat.
Menurut Glenn, hasil konferensi akan diberikan kepada tuan rumah konferensi, yakni Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Bupati Bandung Dadang M. Nasser, maupun Kementerian/Lembaga terkait. “Semoga yang kita hasilkan hari ini dapat mendorong perbaikan ekosistem industri musik di tingkat Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, hingga Indonesia karena tadi Bupati dan Gubernur sudah janji menyebarkan hasil konferensi kepada para koleganya di kabupaten/kota maupun provinsi lain. Semoga kita bisa terus bekerja bersama untuk memajukan ekosistem musik agar tujuan Strategi Kebudayaan, yakni Indonesia Bahagia, bisa tercapai,” ucap Glenn.
Ia menambahkan, konferensi sehari ini belum cukup untuk membahas semua tantangan dalam industri musik dan memetakan jalan masa depan industri musik secara menyeluruh. Namun, konferensi adalah pemantik untuk rangkaian diskusi bulanan yang akan KAMI adakan mulai Januari 2020. KAMI memfasilitasi kolaborasi para pegiat musik untuk mengevaluasi dan mewujudkan poin-poin yang tertuang dalam 12 rencana aksi yang terumus tahun lalu. Seperti pada 2018, konferensi kali ini juga diselenggarakan KAMI bersama Yayasan Ruma Beta, Koalisi Seni, dan Dyandra Promosindo. Materi presentasi pembicara akan tersedia di www.kamimusik.id.
Poin-poin bahasan Konferensi Musik Indonesia
1. Sesi Pekerja Musik Berserikat
a. Perlu dibentuk Serikat Pekerja Musik yang bisa memperjuangkan nasib musisi, terutama dari sisi ketenagakerjaan, standar imbalan finansial bagi pekerja musik, dan mengatasi masalah diskriminasi gender maupun kekerasan seksual di skena musik.
b. Serikat Pekerja Musik juga bisa jadi mitra pemerintah dalam memberi masukan bagi kebijakan terkait musik.
c. Ada banyak jenis musisi, seperti musisi industri, independen, tradisional, kafe, dan jalanan. Mereka bisa membentuk serikat pekerja musik masing-masing dengan isu advokasi masing-masing, lalu ada konfederasinya untuk advokasi ke tingkat pusat.
d. Serikat Pekerja Musik harus transparan dan mudah diakses, dengan aturan jelas dan mengikuti regulasi yang berlaku. Serikat juga harus sensitif gender dan punya kebijakan afirmatif untuk mendorong perempuan ikut terlibat aktif di dalamnya.
2. Sesi Panen Royalti dan Sosialisasi UU Ekonomi Kreatif
a. Portamento, sistem informasi terpadu untuk hak cipta lagu, akan memasuki tahap development tahun depan. Karena melibatkan banyak kementerian dan juga harus bernegosiasi dengan pihak luar negeri, pembangunan sistem ini akan perlu waktu beberapa tahun. KAMI akan terus memantaunya.
b. Musisi perlu menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) agar bisa mendapatkan hak royaltinya dengan lebih sistematis.
c. Perlu lebih banyak terobosan dalam penyaluran apresiasi dan royalti kepada musisi.
d. Ada empat Peraturan Pemerintah turunan Undang-undang Ekonomi Kreatif yang perlu dikawal agar sesuai dengan kebutuhan industri musik. Empat PP ini mengatur skema pembiayaan dan pemasaran berbasis kekayaan intelektual, juga rencana induk dan kelembagaan ekonomi kreatif.
e. Musisi harus bisa mengikuti kemajuan teknologi informasi, misal punya metadata, juga mendokumentasikan karyanya di LMK, music publisher, dan agregator.
3. Sesi Membangun Kota Musik
a. Konsekuensi bagi kota musik adalah memastikan musik betul-betul jadi nafas pembangunan di kotanya.
b. Sebagai Kota Musik, Ambon harus memiliki peta jalan dan leadership dalam menghidupkan dirinya sebagai kota musik serta memberi manfaat bagi warganya.
c. Perlu ada pemetaan dan pendataan ekosistem musik di kota-kota musik secara komprehensif.
d. Perlu ada infrastruktur ruang publik untuk bermusik.
e. Dalam daftar UNESCO Creative Cities, ada Bandung sebagai Kota Desain dan Ambon sebagai Kota Musik. Kedua kota ini perlu menjalin kerja sama, misal jadi sister cities, untuk saling memajukan dan bertukar kreativitas.