Urbannews Musik | Festival Tepi Sawah tahun ketiga ini berakhir pada Minggu (07-07) di Omah Apik Pejeng, Ubud. Untuk memulai sesi jamming pada malam hari, stage Uma dimeriahkan oleh Nita Aartsen, Celticroom Bali, Made Ciaaattt, dan Dayu Ani. Dengan iringan piano, violin, dan tepukan gendang, mereka berkolaborasi dengan membawakan lagu Melati Putih. Di pertengahan, Made Ciaaattt menari dengan tempo khas gamelan Bali yang dibunyikan dari bibirnya sendiri. Melanjutkan aksi Made, Dayu Ani pun menampilkan teaterikal singkat yang dimulai dengan masuknya anak kecil berbalur boreh ke tengah acara. Tearikal ini diiringi dengan nyanyian kidung Pangraksa Jiwa dan menceritakan tentang penguatan batin anak dan ibu.
Menariknya didalam kidung Pangraksa Jiwa ini sempat terdengar nama-nama nabi seperti Muhammad dan Ibrahim disebutkan. Dayu Ani menjelaskan, dia mengetahui kidung ini bukan hanya diwariskan di desanya, Desa Budakeling, tapi juga dikenal sebagai kidung Hikayat Nabi dan Rumakso Iwonge di Sunda. Di Desa Budakeling, kidung ini dinyanyikan sampai pagi saat ada upacara Puput Puser. Tujuannya untuk menguatkan jiwa bayi agar dijauhkan dari marabahaya dan penolak bala. “Makna itupun sama dengan kidung Hikayat Nabi dan Rumakso Iwonge. Lewat kidung ini, diharapkan anak bisa hidup dengan kasih sayang semesta,” jelasnya.
Makna dari kidung dengan sebelas bait itu pun dituangkan dalam teaterikal yang ditampilkan. Pesan penguatan jiwa ini terlihat saat sosok anak kecil tersebut menari dan menarik kain putih di sekeliling Dayu Ani. Anak kecil tersebut diandaikan sebagai jiwa yang datang dan kain putih diandaikan sebagai tali pusar. Aksi itu menggambarkan bagaimana sang ibu lewat tali pusarnya memberi nutrisi dan melindungi anaknya, bahkan sampai dia mandiri. “Lewat festival ini, saya harap semoga kita bisa hidup saling berdampingan dengan alam nyata, tidak nyata, dan semesta,” harapnya.
Malam pun dilanjutkan dengan sesi jamming bertema Papua. Kacir, salah satu penyanyi di stage Uma menyanyikan beberapa lagu berbahasa Papua. Diantaranya bercerita hal yang sederhana, yaitu menggoda perempuan berbaju polkadot yang terlihat berjalan mondar-mandir. “Nona kalau tidak punya rumah, mending ke rumah saya saja,” celetuknya dan disambut tawa para penonton. Selanjutnya, lagu yang ia bawakan menceritakan tentang perjalanan ke kampungnya di pelosok Papua yang panjang dan berat. Terakhir adalah lagu Yamko Rambe Yamko, dimana para penari berbaju tradisional Papua mengajak penonton untuk ikut menari bersama di tengah penampilan.
Clossing night Festival Tepi Sawah juga dimeriahkan oleh Bonita, Bhismo, Iqua, dan FRC dalam sesi Folklore. Disini, mereka membawakan lagu-lagu tradisional dari penjuru nusantara seperti Kicir-Kicir, Rasa Sayange, dan Ampar-Ampar Pisang. Balawan, gitaris handal asal Gianyar juga hadir dan sempat mengisi workshop Irama Bali di sore harinya, lalu jamming berkolaborasi dengan Made Ciaaattt di malam harinya.|Edo