Urbannews | Pada gelaran Java Jazz Festival edisi Anniversary 20th yang dilaksanakan selama 3 hari, 30,31 Mei dan 1 Juni 2025 di JIEXPO Kemayoran Jakarta ini, artis gaek yang menjadi incaran saya adalah Lee Ritenour dan Shakatak. Di kesempatan ini saya mencoba berpetualang dalam ritual Jazz tahunan yang digagas dan dikomandani oleh Peter Gontha sejak dua puluh tahun lalu.
Dengan memakai perspektif wisata musik dan hiburan jajanan. Pada hari pertama, Jum’at 30 Mei sore menjelang magrib kami memasuki area venue. Melewati screening yang cukup ketat dengan aturan standard festival musik. Para official di garda depan melaksanakan protokol validasi dan keamanan dengan cermat dan ramah senyum. Memasuki entry hall (foyer) menuju area terbuka didepannya kita dihadapkan beberapa pilihan concert hall melalui koridor di sisi kiri dan kanan. Lalu jika kita berjalan terus di area terbuka ada stage ukuran kira-kira 12 m x 8 m menyambut para pengunjung yang baru datang. Backdrop neon box tertulis BNI java Jazz Festival serta logo Wonderful Indonesia di sudut kiri atas kolom rigging seolah menegaskan pada penonton bahwa acara ini terselenggara atas dukungan BUMN dan peran serta kementrian pariwisata.
Sore itu sekelompok band bergaya funky jazz sedang beraksi di stage, suara berat vocalis cewek terdengar lantang dan eksotis. Dilatari musik yg terdengar sekilas nyaris seperti gayanya grup band Bunglon dan sejenisnya. Samar saya mendengar sang vocalis menyebut nama yang cukup familier Andy Owen sebagai gitaris di band tersebut. Jujur saya juga belum sempat menggali informasi tentang line up dan skedul nya para artis secara detail. Di area terbuka itu both both sponsor di plot dengan efisien dan eye catching. Dalam tatanan ala pasar malam penuh wana dan bermandi cahaya. Photo booth ditaruh tidak jauh di sisi kanan welcome stage wonderful Indonesia. Outlet produk dan space kuliner memenuhi hampir dua pertiga blok area terbuka dengan tiga stage oudoor yang siap menghidupkan pasar malam jazz tersebut.
Model acara sejenis festival musik memang menyuguhkan banyak pilihan artis dengan banyak stage, disesuaikan dengan konten, grade dan kaliber artis nya. Berharap untuk mengapresiasi seluruh line up artis dalam tiga hari akan sangat mustahil dilakukan. Penonton yang berniat mengapresiasi musik dari artis-artis yang diminati, memang harus merencanakan secara cermat. mengingat rundown yang sangat rapat, belum lagi lokasi venue stage nya bisa berjauhan. Jika kita hanya mengandalkan spontan dan random, dijamin akan pontang panting wira wiri kesana kemari kayak Bajaj ngejar setoran.
Hari pertama, saya hanya menyambangi booth nya Citra Intirama, sales distributor keyboard merek Nord untuk menjumpai rekan Andi Bayou yang di endorse produk tersebut. Sambil menunggu waktu tampilnya Lee Ritenour di Teh Botol Sosro Hall.
Lee Ritenour walau nampak sepuh namun tampil dengan apik. Di announce khusus oleh Peter Gontha untuk naik ke atas panggung. Mengawali dengan lagu Etude salah satu lagu dari album Color Rit, Lee Ritenour bermain prima selama satu jam dengan menyelipkan satu nomor yang menyuguhkan vocal nya Munir Hossn selaku bassist di formasi tersebut dalam lagu berjudul “Is It You” lagu yang saat populer dinyanyikan oleh Phil Perry ketika formasi nya GRP All Stars melibatkan Dave Grusin, Dave Valentin, Dave Weckel, Abraham Laboriel dan artis top lainnya.
Menu penutup hari pertama, saya menyempatkan nonton Wijaya 80 di stage MLD Hall. Wijaya 80 mengingatkan kita pada band-band seperti Java Jive, Deni Malik atau Four Twenty. formasi musik pop rasa jazz dengan fashion ala band pop retro dan boleh dibilang khas nuansa band Metropolitan era 90an lengkap dengan idiom dan lirik lagu nya bicara tentang kisah asmara dan pernak pernik generasi muda remaja kota besar.
Hari kedua Sabtu 31 Mei 2025
Sesaat memasuki area check point awan gelap memayungi kawasan Kemayoran dan hujan rintik yang semakin menderas pun membuat pergerakan para penonton menjadi bergegas.
Awalnya hendak menonton Krisdayanti (KD) di BNI Hall, tapi berubah pikiran untuk ke Cimory Hall melihat Danilla Riyadi, penyanyi yang mulai dikenal dengan album Telisik. Musik folk popyang simpel dan cenderung minim dari eksplorasi instrument. Namun penampilan kali ini Danilla diiringi format combo big band dengan barisan tukang tiup brass section, menjadi terasa cozy sedikit retro dan elegan.
Tidak berlama-lama saya pun keluar dari Cimory hall untuk berpetualang menyaksikan suasana perhelatan Jazz yang telah menjadi ajang kumpul tahunan para penyuka jazz tanah air. Sempat menikmati sejenak performa Galaxy big band di stage outdoor nya Java Stage. Lalu mencicipi beberapa jajanan sambil menunggu jadwal Shakatak main. Band asal Inggris beraliran jazz funk ini terkenal hingga ke Asia melalui album Night Bird yang di rilis tahun 1982 lalu. Walau sudah sering tampil di Indonesia termasuk di perhelatan Prambanan Jazz 2017 lalu yang diwarnai insiden kecil saat Jill Saward hampir terjatuh diatas panggung, Shakatak tetap menarik minat para penyuka Jazz kita, terutama dari generasi 90 an.
Memasuki BNI Hall para pengunjung sudah mulai mengerumun memasuki indoor stage berkapasitas ribuan orang itu. Kursi penonton pun sudah hampir penuh terisi orang-orang yang ingin menikmati kembali nuansa musik jazz funk era 80an. Setelah mc membuka acara, layar dibelakangnyapun terbuka dan lagu “Invitation” menggebrak penampilan mereka. Intro nada-nada flute yang magis itu langsung membawa imanjinasi penonton terbang melintasi dimensi waktu. Disambung lagu kedua “Rio nights” lalu “Without You”, “Brazilian Love Affair”membius penonton untuk tetap khusuk pandangannya ke panggung. Diselingi Peter Gontha membangun dialog hangat dengan Jill Seward dan Bill Sharpe, lalu Shakatak membawakan repertoar selanjutnya “Dark Is The Night”, “Day By Day”, “Night Bird” dan ditutup dengan “Down On The Street”.
Penampilan band yang lahir lebih dari empat dekade lalu di kota London itu membuat kita meyakini bahwa usia tua bukan menjadi halangan dalam bermusik dan berkreatifitas.
Bersama Night Bird, Shakatak menjelajah khasanah musik dunia, memberi warna dan kesan tersendiri kedalam memori kolektif masyarakat musik Internasional. Java Jazz Festival menjadi salah satu tempat persinggahan si burung malam untuk rehat sejenak, menyapa para penggemarnya, menyerap budaya dan aspek sosial disekitarnya untuk menjadi sumber inspirasi pada karya-karya masterpiece berikutnya.
Tabik, Salam Budaya
Heri Machan, Yogyakarta