Erros “Django” Djarot Dalam Konser Barong’s Band Milenial

Music48 Dilihat

Urbannews | Sosok kebudayaan yang memberikan sumbangsih besar kepada kesenian dan identitas suatu negara layak diberi apresiasi yang mendalam, baik secara simbolis maupun konkret. Bentuk apresiasi yang dapat diberikan negara untuk menghargai mereka sebagai “harta karun bangsa” bisa beraneka rupa bentuknya.

Erros Djarot sangat bisa jadi tidak membutuhkan pengakuan resmi dan gelar kehormatan semacam itu, sebagaimana sejumlah Gelar Kebudayaan yang telah diberikan negara kepada warga terpilihnya.

Dengan misalnya memberikan gelar “Maestro Seni Tradisi”, “Seniman Nasional”, atau “Budayawan Agung”, seperti di Jepang dengan Living National Treasure, dan Filipina dengan Gawad Manlilikha ng Bayan. Atau gelar kehormatan bidang kebudayaan di Indonesia bernama Satyalancana Kebudayaan dan Bintang Budaya Parama Dharma.

Tapi, setelah menyaksikan kiprahnya selama ini berkarya di Indonesia, sejak 50 tahun lalu telah “pecicilan” di atas panggung musik via Barong’s Band-nya, yang dia bentuk di Jerman Barat di tahun 1970 an, dan sempat manggung di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta di tahun 1975, lalu dihidupkan kembali dalam format Barong’s Band Milenials di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Erros Djarot sebenarnya bahkan telah mengatasi semua gelar kebudayaan itu. Erros Djarot adalah juara, Django sebenarnya.

Bayangkan, sebagaimana disarikan Erwiantoro Cocomeo Cacamarica di awal konser yang berlangsung meriah, dan melempar memori penikmatnya ke musik rock era tahun 70 an berjalan itu, kiprah Erros Djarot tak terasa telah sekian lama membentang, diam-diam karyanya sangat membekas di memori publik masyarakat Indonesia.

“7 dan 8 November 1975 mas Erros dan Barong’s Band main di TIM, 50 tahun kemudian Barong’s Band Milenial main di sini, di GKJ. Saat itu, tak berapa lama setelah main di TIM, mas Erros ditantang Teguh Karya bikin musik film Kawin Lari. Akhirnya mas Erros dapat (piala) Citra sebagai Penata Musik Terbaik lewat film Kawin Lari (di FFI 1975),” kata Toro di GKJ Jakarta, Jumat (9/5/2024) malam.

“Saat membuat film Badai Pasti Berlalu tahun 77, ada friksi antara mas Erros dan Teguh Karya. Karena Teguh Karya tidak suka pilihan mas Erros pada penyanyi Berlian Hutauruk, tapi lebih suka pada Broery Marantika dan Anna Mantovani. Mas Erros mengancam cabut kalau bukan Berlian Hutauruk penyanyinya. Sebelum akhirnya, lagi-lagi di (film) Badai Pasti Berlalu, mas Erros kembali mendapatkan (Citra) sebagai Penata Musik Terbaik, (dengan tetap mempertahankan Berlian Hutauruk),” imbuh Toro.

“10 tahun berikutnya, demi mensejajari gurunya Teguh Karya, mas Erros menyutradarai Tjoet Nja’ Dien, yang kemudian menjadi film terbaik (FFI 1988). Terakhir mas Erros turut menyutradarai dokumenter Kantata Takwa pada 2008,” cerita Toro.

Tidak berhenti di situ, dalam dunia politik Erros pernah menjadi orang nomor satu di Partai Nasionalis Bung Karno atau PNBK,” Yang saya pelesetkan menjadi Partai Nasionalis Bang Kumis,” kata Toro merujuk pada ciri khas Erros dengan kumisnya, setelah sebelumnya Erros sempat runtang runtung dengan Megawati di PDIP.

Mencelat dari dunia politik, masih menurut cerita Toro yang jadi semacam tukang dongeng, Erros menjadi penggagas lahirnya tabloid Detak, yang oplahnya pernah lebih dari 100 ribu sekali terbit, sebelum turut melahirkan Detik.com. “Makanya saya mengusulkan mas Erros sebagai salah satu tokoh pers Indonesia, seperti Rosihan Anwar dan beberapa nama lainnya,” katanya.

Meski sebenarnya, gen Erros adalah dunia musik. Karena itu, setelah “difitnah” oleh Toro, lahirlah konser Barong’s Band Milenial, yang didukung sejumlah musisi milenial, juga Keenan Nasution, Once Mekel, Sastrani dan Lele.

Kisah selanjutnya adalah semacam kenangan masa lalu yang coba dibangkitkan kembali oleh Erros di hadapan ratusan kawan-kawan, pengagum dan keluarganya, secara free.

“Sebenarnya uda ngga pantes, uda 75 tahun. Lagu ini saya bawakan 50 tahun lalu. Lagu ini saya tujukan untuk anak muda; Kembalikan Masa Depanku,” kata Erros sebelum melantangkan suaranya. Tentu power suaranya tidak sekuat vokalis Barong’s Band Milenial yang usianya bahkan lebih muda dari usia anak-anaknya. Tapi semangat Erros masih menyala.

Di lagu berikutnya, Erros membuka dialog. “Dulu, lagu ini hadir dilatarbelakangi jaman Franco Nero, jaman Django, karena anak-anak muda saat itu seperti jijik kalau berbahasa Indonesia, dan kalau ngomong di Prancis pranciskan. Lahirlah lagu Citra Indonesia,” katanya sebelum menembangkan lagu bertempo sedang itu.

Malam itu, Erros memang memang menjadi penutur yang baik, kelihatan pinternya, dengan menceritakan latar belakang terciptanya sejumlah lagunya. Sembari acap kali menggoda Dewi, istri kinasihnya dari atas panggung. Seolah meminta afirmasi jika semua lagu yang dia ciptakan ditujukan hanya kepada pujaan hatinya itu semata.

Sebagai lirisis, tentu pilihan diksi Erros terukur, apalagi ditingkahi enam punggawa Barong’s Band Milenial, plus enam penyanyi latar, maka terlihat akbar setiap lagu yang dibawakan.

Singkatnya nuansa rock menggema malam itu. Kadang terdengar nuansa progresif standar diantara selipan komposisinya.

“Ini peristiwa musik, jangan dikotori politik,” katanya sebelum melanjutkan dengan lagu Moral. Setelah itu, dia nyentil kian kemari tentang kondisi Indonesia masa kini, yang sejatinya, masih relevan dengan pesan sejumlah lagunya yang dia ciptakan 50 tahun lalu.

“Lagu berikut berjudul Tuhan, ya mengajak kita selalu ingat Tuhan. Ya, ngga punya ijazah ngga masalah, asal ngaku aja,” katanya disambut tawa.

Setelah lagu Narkotika dan Manusia Manusia menyusul di belakangnya, Erros baru mempersilakan Keenan Nasution hadir ke atas panggung. Sembari dia bercerita tentang partner menulis liriknya Debby Nasution yang juga kakak Keenan Nasution, “Debby itu soleh. Habis latihan sembahyang. Di tengah latihan, sembahyang. Mikirnya Tuhan terus, mikir ceweknya kapan?” katanya bercanda.

Sejenak setelah Keenan membawakan lagu legendaris Angin Malam dan Nuansa Bening meledaklah GKJ. Suara Keenan masih apik, ngelangut sekaligus menenggelamkan. Meski powernya tentu mulai pudar, tapi tak mengurangi kebesarannya.

Puncaknya saat Once Mekel menyusul di belakangnya membawakan nomor sakral
Pelangi dan Malam Pertama, yang sepenceritaan Erros dibuat tentu saja untuk istri terkasihnya Dewi. Yang malam itu hadir sembari ngeloni cucunya yang tertidur di kursi sebelahnya.

“Waktu kecil makan mu apa sih, kok suaramu bagus banget,” demikian puji Erros kepada Once, yang menyajikan suara surgawinya, menyimpulkan makna merdu menemu pengertian sejatinya.

“Nah, berikut ini, giliran Soprano seperti Berlian Hutauruk dulu, saya persilahkan Sastrani,” kata Erros sembari memberikan tempat kepada solois bersuara lengking layaknya penyanyi seriosa, dengan membawakan single Semusim, dan Selamat Jalan Kekasih.

Demikianlah konser Barong’s Band Milenial berjalan. Di sesi II, yang menghadirkan nomor Politik politik, Kerabat Muda, Negaraku, Ketika Cinta Kehilangan Kata, sebelum dipungkasi dengan nomor sakti Badai Pasti Berlalu yang dinyanyikan semua artis pendukung, mengalir dengan menyenangkan, mengharukan sekaligus membanggakan. Menempatkan dan melegalisir sosok Erros Djarot sebagai juaranya, Django sebenarnya.

Django yang menempatkan dirinya tidak hanya sebagai seorang seniman dan budayawan, yang terus berupaya menjadi penjaga identitas bangsa lewat karya musik, film dan jurnalistiknya. Yang kiprahnya membentang dari dunia seni, politik hingga pers nasional. Panjang umur mas. Wani Piro. (BB)

Foto: (dok. Joko Dolok)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *