Sambut Hari Musik, Jurnalis Musik Senior Minta Pemerintah Bersikap Tegas soal Kisruh Royalti

Music17 Dilihat

Urbannews | Kisruh perihal royalti musik antara komposer dan penyanyi harusnya bisa dicarikan jalan tengah. Untuk itu pemerintah diminta mengambil peran nyata dengan mendorong terwujudnya tata kelola royalti musik yang lebih berkeadilan dan transparan.

Hal ini menjadi kesepakatan yang disampaikan sejumlah jurnalis musik senior Indonesia yang tergabung di dalam Serikat Perangkai Kebenaran (SPK) dalam menyambut Hari Musik Nasional yang akan dirayakan pada 9 Maret mendatang. Para jurnalis menilai kisruh royalti musik antara komposer dan penyanyi sesungguhnya menjadi kontraproduktif dalam mendorong terciptanya ekosistem musik di Indonesia menjadi lebih baik.

“Pemerintah harus berada dalam posisi yang jelas, jangan ambigu,” kata Denny MR, jurnalis senior jebolan Majalah HAI, dalam diskusi yang dilakukan di Pondok Aren, Tangerang, Kamis (06/02/2025).

Kegelisahan ini berawal dari mencuatnya sengketa royalti yang terjadi antara Agnez Mo dan Ari Bias. Pada 30 Januari 2025, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan bahwa Agnez bersalah dan mewajibkannya membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar. Agnez pun melawan dengan mengajukan kasasi.

Kisruh itu semakin terpolarisasi dengan munculnya dua lembaga yang mewakili kepentingan sektoral. Ada AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia) versus Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang mewakili kepentingan penyanyi.

Irish Riswoyo dari Voicemagz.com, mengatakan bahwa tata kelola royalti musik di Indonesia hingga saat ini masih belum berjalan secara baik. Proses pemungutan royalti masih manual dan masih banyak para pengguna lagu (User) yang tak mau bayar.

”Harus diakui, bahwa tata kelola royalti musik di Indonesia masih belum baik, selain proses pengkolekan yang masih manual juga banyak para pengguna lagu (user) yang masih enggan membayar dengan berbagai alasan. Jika semua patuh membayar royalti seperti yang diamanatkan Undang-undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014, boleh jadi kasus seperti Ari Bias dan Agnez Mo tidak akan terjadi, karena masing-masing mendapatkan haknya dengan baik,” katanya.

Mudya Mustamin, salah satu jurnalis yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Billboard Indonesia, mengatakan untuk mencegah kisruh yang kontrakproduktif ini maka Indonesia dapat belajar pada succes story yang dilakukan Jepang, Singapura, maupun Brasil. “Mereka bisa saling bersinergi dalam mengoptimalkan royalti. Ketika hak royalti dapat diberikan secara optimal maka manfaatnya dirasakan pula oleh ekosistem musik itu sendiri,” ujarnya.

Benny Benke, jurnalis dari Suara Merdeka, meyakini bahwa kebenaran itu akan selalu menemukan jalannya sendiri. Terkait dengan kisruh royalti ini, ia menilai pemerintah memang sudah seharusnya mengambil peran. “Jika pemerintah tak bisa maka jangan disalahkan jika kami, para jurnalis, akan berusaha merangkai kebenaran itu melalui usaha nyata untuk mencarikan kebenaran itu sendiri,” katanya berfilosofi.

Para jurnalis musik yang tergabung ke dalam Serikat Perangkai Kebenaran ini diantaranya dihuni oleh Denny MR, Irish Riswoyo, Benny Benke, Akbar, Bello, Ryan Ncek, Edo dan Mudya. Serikat ini bersifat terbuka karena menjadi ruang diskusi membangun buat kebaikan industri musik Indonesia.

“Tanggungjawab kami sebagai jurnalis tidak hanya terbatas memberitakan dan menyampaikan informasi saja. Tetapi sebagai pilar kelima demokrasi, kami juga memiliki peran edukatif yang konstruktif untuk menghadirkan ekosistem musik yang sehat, adil dan transparan bagi semua para pihak yang terlibat di dalamnya,” kata Ncek, jebolan dari Tabloid Gaul dan pengelola komunitas Lesehan Musik ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *