Urbannews | Verba volant, scripta manent. Petuah bijak dalam bahasa Latin yang umurnya berabad-abad itu nyatanya masih berlaku mutlak hingga saat ini. Yang terucap akan terlupakan. Yang tertulis akan abadi. Sialnya, dokumentasi musik tanah air kita tak banyak yang hadir dalam bentuk tulisan.
Sepenuturan seorang pengamat musik juga pelakunya, dalam pameran atau bazar buku di tanah air, para pengunjung akan lebih gampang menemukan buku biografi The Beatles, The Rolling Stones, Guns N’ Roses, atau nama band luar negeri lainnya. Ketimbang melihat biografi Godbless, Slank, atau band-band dalam negeri.
Ironis memang! Kesadaran melakukan dokumentasi literasi, baik melalui buku, video, maupun kumpulan foto, masih belum dipunyai musisi di Indonesia. Tidak mengerti alasan persis kenapa musisi di Indonesia enggan melakukan dokumentasi musik. Sepertinya, Indonesia tidak punya budaya ”mendokumentasi” tapi lebih dibesarkan oleh tradisi lisan dan bukan tulisan.
Pentingnya mendokumentasikan musisi dalam sebuah produk literatur
Mungkin banyak pertanyaan apa gunanya narasi?, dan apa manfaatnya buku?
Menukil pernyataan para pakar, seperti Keraf atau Labov dan Waletzky, bahwa menarasikan, mengisahkan, meceritakan baik sebuah peristiwa, kepingan kisah, serangkaian episode seseorang atau kelompok di masa lalu, untuk membawa pembaca seperti melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Secara sederhana, bahwa narasi adalah menuliskan kisah, narasi adalah melukiskan sejarah.
Gito Rollies hingga tutup usia, jejak hidupnya, pikirannya, ide-idenya, ikut pergi tanpa meninggalkan kisah hidup yang di abadikan dalam buku biografi yang lengkap. God Bless yang masih tetap eksis pun, nihil biografi panjang yang komprehensif tentang mereka. Betapa miskinnya narasi musik kita, betapa miskinnya kesadaran kita akan pentingnya sebuah teks, padahal sebuah kisah yang didokumentasikan bisa jadi warisan berharga bagi lahirnya regenerasi.