Rieka Roslan; Belajarlah Menghargai, Jangan Sampai di Cap Pemulung Karya

Movie, Profile660 Dilihat

Urbannews | Pencipta lagu di Indonesia nasibnya belum seindah gubahannya. Para pekerja kreatif ini tak hanya disibukan soal mengurusi hak royalti apapun bentuknya dari maraknya panggung hiburan yang membawakan lagu-lagunya, tapi juga harus menjadi corong menyuarakan perihal budaya untuk saling menghargai dan saling menghormati.

Seperti yang di alami oleh seorang sahabat penyanyi sekaligus penulis lagu tanah air, Rieka Roslan, yang sedang bersinggungan dengan grup musik yang turut dibesarkannya. Sepenceritaan Rieka, pada bulan Maret 2022, dirinya menyatakan ketidakcocokan dengan management The Groove. Ketidak cocokan ini menurutnya sudah berlangsung lama, namun puncaknya terjadi pada Maret 2022.

Rieka memberikan pilihan pada teman-teman management sekarang menjadi agency saja, dan management The Groove di pegang sendiri serta Reza menjadi leader agar bisa membenahi semua. Namun The Groove tetap memilih managemen yang ada, dan Rieka diminta menyelesaikan masalah dengan menagement.

Sejurus kemudian Rieka dan The Groove melakukan mediasi secara personal yang dimediasi oleh WAMI. Dikarenakan tidak ditemukan kesepakatan, akhirnya diputuskan untuk bisa tetap satu panggung bersama tapi beda management. “Perbedaan management ini saya usulkan agar kami bisa berfikiir jernih”, jelas Rieka.

Ada 5 event yang dijalankan dengan sistem beda management dan berjalan lancar. Pada bulan November terjadi hal yg sangat menyinggung Rieka. Ada pernyataan dari management The Groove kepada EO yang menyatakan bahwa The Groove tidak bisa satu panggung lagi dengan Rieka.

Pernyataan ini tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan buat Rieka ini sangat tidak profesional. “Oleh karena itu pada tanggal 13 Desember 2022, saya melayangkan surat resmi kepada The Groove dan WAMI yang menyatakan bahwa saya melarang The Groove untuk membawakan lagu-lagu ciptaan saya. Ini sebagai konsekuensi logis ketika The Groove tidak bisa satu panggung lagi dengan saya”, pungkas Rieka.

Nah! berkaitan dengan untaian Rieka termasuk soal budaya dimaksud diatas. Saya ingin menyatakan, bahwa terlalu sering pencipta lagu menjadi tertuduh atas karyanya sendiri. Kita juga terlalu sering mendengar celoteh hati orang lain, sementara orang lain tidak peduli dengan celoteh hati pencipta lagu. Pencipta lagu atau musisi yang sukses hanya dilihat suksesnya, namun jarang sekali yang melihat proses menuju suksesnya.

Kita –apapun profesi dan kemampuan kita—memang dibuat untuk orang lain, meskipun sebenarnya itu adalah kejujuran dan keluhurah hati kita. Silakan saja gunakan hasil karyanya, tapi bukan berarti semua dilakukan se-enak udelnya, tanpa basa-basi apalagi permisi.

Ada satu hal dalam lelaku prikehidupan kita sebagai makhluk sosial yang tercerabut dari akarnya, yaitu soal budaya saling harga menghargai juga menghormati. Secara etimologis, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Tentu tidak secara harfiah mentah-mentah kita mengadopsi penjelasan tersebut.

Menurut kacamata saya, “budaya adalah karya yang dibentuk manusia di satu masa, dan berkembang luas memengaruhi kehidupan manusia lain di masa sesudahnya.” Lalu, apakah saya, Anda dan kita bisa menciptakan budaya? Tentu saja bisa.

Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya.

Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendudukungnya. Kalau tidak ada yang mendukung dan memberinya kehidupan, budaya dan kebudayaan, lambat laun juga bakal mati.

Jadi, mari kita ciptakan budaya utama untuk saling harga menghargai dan saling menghormati antar sesama profesi. Dan, berikutnya budaya saling mengingatkan layaknya orang tua maupun guru kepada anak usia dini tentang keteladanan juga adab, serta pembiasaan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Seperti lirik lagu anak popular yang memiliki “4 kata” ajaib, yakni; Kalau berbuat salah bilang “maaf”, Kalau butuh bantuan bilang “tolong”, Kalau dapat hadiah ucap “terima kasih”, Kalau kau mau lewat ucapkan “permisi”.

Menjadi musisi, apapun posisinya di industri musik, harus berani “telanjang bulat” yang maknanya adalah: bisa mempertanggungjawabkan karya-karya yang dibawakannya secara gamblang dan terbuka. Musisi itu diukur lewat kemampuannya menciptakan kreasi atau karya. Kalau tak punya wawasan dan adab, apalagi hanya comot sana-comot sini, masih pantaskah disebut musisi bertalenta? Bagaimana kalau kemudian kita sebut: pemulung nada atau karya saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

84 komentar