Insan Musik Indonesia Tidak Diam, Melawan Perusahaan Rekaman Yang Ingin Mengakali UU

Music191 Dilihat

Urbannews | Pengajuan permohonan pengujian UU Hak Cipta No 28 Tahun 2014 oleh Perusahaan Rekaman Musik kepada Mahkamah Konstitusi telah menimbulkan reaksi keberatan dari para Pencipta Lagu, Penyanyi dan Pemusik. Untuk itu organisasi dan asosiasi yang menanungi beserta para seniman musik Indonesia merasa terpanggil untuk menyampaikan kepada masyarakat luas terkait masalah ini. Organisasi profesi musik itu antara lain PAMMI, PAPPRI, FeSMI, KCI, LMK PAPPRI,  SMI, ARDI, RAI, WAMI dan LMK lainnya beserta tokoh tokoh musik.

Pasal yang dimintakan untuk diuji itu adalah pasal 18 dan 30 serta 122 UU Hak Cipta yang pada prinsipnya menyatakan bahwa saat telah  mencapai jangka waktu 25 tahun maka hak cipta atas lagu tersebut yang pernah dijual putus dan/atau dialihkan tanpa batas waktu kembali kepada Pencipta Lagu dan Pemilik Hak Terkait. Artinya setelah 25 tahun perusahan rekaman musik mengeksploitasi lagu tersebut untuk keuntungannya, maka hak cipta atas lagu tersebut kembali kepada pencipta lagu, penyanyi dan pemusik. Ini dapat disebut sebagai “harta karun” musik yang kembali kepada pemiliknya. Disampung itu juga memohon untuk diuji pasal 63 ayat (1) huruf (b) dengan memohon hak ekonomi Produser Phonogram yang ditetapkan UU Hak Cipta 50 tahun menjadi 7O tahun.

Mengapa sampai Pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU Hak Cipta memasukkan pasal 18 ini?  Jika ditelusuri maka hal ini dilatarbelakangi oleh sistem industri musik beberapa dekade lalu yang menempatkan Pencipta Lagu dalam posisi tawar yang sangat lemah sementara Perusahaan Rekaman dalam posisi yang sangat kuat dengan kekuatan modalnya. Dengan kondisi seperti ini maka dapat dikatakan banyak  perjanjian atas karya cipta lagu yang dibuat tidak mencerminkan asas keadilan serta keseimbangan hak dan kewajiban Para Pihak. Perjanjian jual putus yang memberikan hak atas lagu selama-lamanya (tanpa jangka batas waktu) kepada perusahaan rekaman adalah contoh produk perjanjian yang banyak ditemukan saat itu.

Keluhan ini disampaikan banyak pihak dalam masa proses pemyusunan Revisi UU Hak Cipta.Pemerintah dan DPR sepakat untuk melindungi warga negara khususnya Pencipta Lagu yang kehilangan haknya selama lamanya akibat posisi tawarnya yang lemah di dalam membuat perjanjian atas karya cipta lagu. Kenyataan tragis ini mendasari pemikiran lahirnya pasal 18 UU Hak Cipta yang diikuti juga dengan pasal 30.

Menjadi pertanyaan mengapa setelah 7 tahun UUHCipta diterbitkan, baru perusahaan rekaman mempermasalahkan hal ini? Mengapa tidak ada keberatan yang diajukan sejak tahun 2014? Apakah ini patut diduga dikarenakan perkembangan industri musik digital yang sangat luar biasa saat ini?

Sebagaimana kita ketahui  industri musik digital saat ini telah memberikan pemasukan sangat besar bagi pemilik katalog lagu, termasuk lagu lagu hits evergreen yang tetap didengarkan sampai saat ini. Bisa dibayangkan kerugian besar yang akan dialami perusahaan rekaman jika lagu lagu yang diklaim sebagai telah dibeli dengan sistem jual putus tersebut kembali kepada Penciptanya karena jangka waktu 25 tahun sebagai hak perusahaan rekaman untuk mengekspoitasi telah berakhir. Ada juga kemungkinan lain, jika ada perusahaan rekaman yang telah mengalihkan hak atas lagu lagu tersebut kepada Pihak Ketiga dengan menjamin bahwa lagu lagu tersebut clear karena telah mendapat ijin, maka dengan berakhirnya jangka waktu 25 tahun hak atas lagu lagu tersebut kembali ke Penciptanya. Apakah ini tidak sama dengan Pihak Ketiga membeli pepesan kosong yang dapat berakibat ia menggugat ganti rugi kepada perusahaan rekaman yang menjual. Fakta menunjukkan bahwa sudah beberapa tahun belakangan ini perusahaan rekaman mendatangi Pencipta Lagu dan Pemusik menawarkan perjanjian perjanjian baru  yang diistilahkan dengan “pemutihan”.  Ini dapat diduga sebagai cara mengantisipasi kembalinya hak cipta kepada Pencipta Lagu. Cara ini sebagian berhasil tetapi banyak juga Pencipta Lagu dan Pemusik yang menolak sehingga menjadi ancaman serius karena bisa berpotensi adanya gugatan dan /atau hilangnya income.

Banyak cerita tragis tentang Pencipta Lagu dan Seniman Musik yang melarat sementara lagunya telah memberikan kekayaan yang berlimpah kepada perusahaan rekaman. Sekaranglah saatnya mereka atau ahli warisnya bisa mendapatkan kesejahtaraan. Tetapi harapan itu akan lenyap karena “harta karun” yang sudah didepan mata akan dirampas kembali jika MK mengabulkan permohonan atas perubahan pasal 18 dan 30 UU Hak Cipta no 28 Tahun 2014.

Kesimpulannya pasal 18, 30 dan 122 UU Hak Cipta harus dipertahankan sebagaimana adanya karena itulah benteng perlindungan yang dibangun pemerintah melindungi warga negaranya dari penzoliman pihak yang kuat terhadap yang lemah posisi tawarnya (bargaining position). Perlindungan ini diberikan supaya sesuai dengan pasal 28 UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak mempunyai Hak Milik pribadi (bagi Pencipta adalah Lagu) dan Hak Milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang oleh siapapun (jika melalui perjanjian yang tidak adil dan setara posisi tawarnya).

Menjadi kewajiban negara di Negeri yang berdasarkan Pancasila ini untuk melindungi warga negaranya dari eksplotasi yang berlebihan oleh pihak yang kuat secara modal atau bentuk lainnya. Perlindungan itu terdapat dalam Konstitusi dan secara tegas disebutkan dalam pasal 18 dan 30 UU Hak Cipta No 28 Tahun 2014.

Sikap Organisasi Profesi Musik mewakili para anggotanya dan sikap para tokoh seniman musik adalah :

1. Tegas mempertahankan pasal 18, 30 dan 122 UU Hak Cipta sebagaimana adanya pada saat ini dan memperjuangkan sikap ini semaksimal mungkin

2. Segera mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar berkenan menyertakan sebagai Pihak Terkait agar dapat memberikan keterangan keterangan baik fakta maupun juridis.

Jakarta, 9 Desember 2021 (Foto:istimewa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *